24/12/13 0 komentar

Terbayang-bayangmu.

Selimut berlapis lapis ini tak mampu jadi penghalang. Sapaan angin menyusupi pori pori. Dinginnya malam serasa menusuk tulang.  Di luar aneka binatang malam riuh senandungkan nyanyian malam selepas hujan. Aku memilih sunyi, gelapnya malam menghapuskan arah dan tujuan.

Entah mengapa mata ini masih enggan terpejam. Aku masih sibuk membolak balikkan badan mencari posisi tidur yang nyaman. Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
Aku pun terjaga dikeheningan malam bersama lampu kamar yang terlihat sayup.

"Perasaan apa ini?"

Seperti ada yang bergejolak di dalam dada yang ingin berusaha keluar. Tapi, entah apalah itu, yang pasti perasaaan ini membuat malamku terasa tak nyaman.
Kini posisi tidurku tepat menghadap langit langit kamar, kedua tangan kulipat dibelakang kepala. Pikiranku kini terlempar ke masa lampau, ke 7 tahun yang lalu tepatnya.

"Ah, dia lagi." batinku.

Wajahnya tereflesi begitu jelas dilangit langit kamar, aku tak pernah lupa siapa pemilik senyum semanis itu. Iya, dia teman satu kelasku dulu.
Waktu itu, kami masih kelas 1 SMP. Aku masih ingat betul betapa lucunya tingkahku saat berhadapan langsung dengannya.

“ Hei, kenalin namaku, Aji. Nama kamu siapa?”

Kuulurkan tanganku sembari memasang senyum paling manis. Ada hening beberapa detik. Mata kami pun bertemu. Tak lama kemudian dia menyambut tanganku hangat.

“Aku Anna.” Ia pun tersenyum kecil.

---

Sejak perkenalan itu, tanpa aku sadari tingkahku mulai aneh. Diam diam aku suka sekali memandanginya dari kejauhan. Entah kenapa aku tak pernah merasa jemu melihat parasnya itu. Aku suka cara dia memperhatikan pelajaran, aku suka cara dia makan, cara dia berjalan apapun yang dia lakukan mataku selalu terasa nyaman, seolah setiap saat ingin merekam segala gerak gerik yang dia lakukan. Bahkan tanpa dipikirkan pun dia selalu datang disaat aku terlelap.

Aku menarik napas dalam dalam, menghembuskannya kembali perlahan. Kini pikiranku semakin jauh menerawang, ingin sekali bertemu dengan dia barang sekejap. Walau hanya sekadar bertegur sapa menanyakan bagaimana kabarnya. Disini, diantara kemeriahan bintang, untuk kesekiannya aku merasa kamu begitu jauh meski masih berteduh dibawah langit yang sama. Disinilah aku, diantara keheningan malam memikirkan seseorang yang tidak pernah bisa kudapatkan. Seseorang yang menghancurkan harapan yang ada dari dulu, yang tumbuh mulai dari kecil, hingga semakin lama semakin membesar lalu semakin menjauh dan hilang. Disinilah aku, diantara kesunyian sekali lagi kuulangi tingkah bodohku mengingat ingat kenangan tentangmu.
Kuraih handphone yang ada di meja. Kunyalakan, kubuka kembali pesan pesan yang menumpuk di draf yang belum sempat kukirimkan padamu.
Kubuka kotak pesan, sekali lagi kubaca pesan terakhir yang kamu kirim untukku.

“Assalamualaikum”

“Hei, jik. aku mau ngasih kabar baik nih. Bulan depan aku mau meried. aku minta doa restunya yah. ^_^”
                                                                        ***


Pernah diikutsetakan dalam #AntologiRindu tanpa kata rindu.
11/12/13 3 komentar

Di sini aku...

Di sini aku duduk termangu melamunkan engkau. Aku tak tahu sudah berapa kali hal bodoh itu aku lakukan. Jari jemariku tak mampu menghitungnya, puluhan, ratusan bahkan ribuan kali, entah aku tak mengingatnya. Coba jelaskan, bagaimana bisa parasmu terefleksi di langit-langit kamar, suaramu terus bergaung di dinding di dalam ruang hatiku. Sungguh aku tak tahu. Karna bagaimanapun segala ingatan tentangmu sudah terpatri dan selalu membekas di hati ini.

Di sini aku duduk termangu melamunkan engkau. Lagi dan lagi mengulangi kebodohan yang sama. Kuhirup asap tipis yang menguar dari secangkir kopi. Aromanya begitu memanjakan indra penciumanku. Sekali lagi kusesap bibir cangkir itu. Hangat. Ada semacam kedamaian yang menelusup ke rongga dada, mencairkan segala gundah nestapa. Tak kusangka rindu bisa segigil ini.
10/12/13 0 komentar

Semesta, beritahu aku...

Semesta...
Beritahu aku bagaimana kabarnya?
Sore ini aku melihat bayangannya di langit senja.
Semburat jingga itu, memancarkan cahaya kesedihan.

Semesta...
Beritahu aku apa dia bahagia?
Demi angin yang setia membelai rerumputan.
Aku sungguh merindunya, rindu rentangan peluknya.

Semesta...
Beritahu aku apa saat ini dia juga memikirkanku?
Apa saat ini dia juga melihat senja yang sama?
Jawab. Jangan memaksaku bercengkrama dengan kesepian.



21/11/13 0 komentar

Kesambet jin korea.

“Bellaaaa…!!! Aku berteriak.

“Nisaaaa…!!! Balas teriaknya dari ujung sana.

Obrolan kami pun di warnai dengan teriakan yang tak kunjung selesai. Sampai suara kami berdua terasa hampir habis.

“Gimana, udah sampe rumah?”

Udah, loe ke rumah gue sekarang, gih!” pinta Bela.

“Oke, siapa takut. Oleh-olehnya ada?”

“Ada tenang aja.”

“Meluncur.”

Klik. Telepon kututup.


Bella baru pulang dari luar negeri setelah 3 tahun ikut ayahnya dinas. Di sepanjang perjalanan, benakku membayangkan oleh-oleh yang Bella bawa untukku.

“Taraaaahhhh…!!!” Bella mengeluarkan kaos berwarna putih bergambar boyband (SU-JU) SUPER JUNIOR. Aku terdiam.


“Bel, loe kan abis pulang dari Mesir,  loe kesambet jin korea di mana?”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata


Terinspirasi dari majalah yang pernah saya baca. Tapi saya lupa apa nama majalahnya.


19/11/13 0 komentar

Hanya aku yang tersisa.

Terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Aku dan Ayah sama-sama menajamkan telinga. Cuaca yang tadinya cerah tiba-tiba menjadi gelap.

“BOOMMMM…!!!”

Cahaya seperti kilat  menghantam sebuah gedung. Bumi bergetar. Terjadi kepanikan yang luar biasa, kekacauan terjadi hampir di seluruh dunia. Manusia di ambang kepunahan.

“Billy, cepat sembunyi ke ruang bawah tanah.” Seru Ayah.

Sementara Ayah berusaha mencari dan menyelamatkan Ibu. Selang berapa lama saat kejadian itu, aku berdiri di antara reruntuhan bangunan. Mataku menyapu bersih ke seluruh penjuru. Gedung-gedung pencakar langit sudah rata dengan tanah, ribuan mayat manusia bergelimpangan berlumur darah.

Awalnya semua baik-baik saja, sebelum ratusan piring terbang raksasa itu datang.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata
0 komentar

Ternyata!




“DJ mulai memainkan musik.”

Pertunjukan fashion show akan segera di mulai. Puluhan busana rancangan desainer ternama akan di pamerkan di sini. Di belakang panggung Adriana tampak gugup. Tapi, walaupun begitu ia akan tetap melakukan yang terbaik.

Menjadi model terkenal adalah impian Adriana sejak kecil. Ia tak peduli walau kedua orang tuanya menentang keinginannya itu.

Dari balik panggung satu demi satu model itu bermunculan. Berlenggak-lenggok di atas catwalk, berpose lalu memutar badannya. Riuh. Saat andriana berjalan memakai lingerie merah dengan sayap yang mengepak di kedua sisinya. Langkahnya begitu anggun.

Puluhan pasang mata tertuju pada wanita yang dulu memiliki nama Adrianto itu.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata



18/11/13 0 komentar

Mata pembunuh.

Ilustrasi



Mata adalah salah satu panca indra yang paling wanita itu suka. Ia senang sekali berlama-lama memandangi mata lelakinya, sesekali ia juga suka memainkannya.

“Dengan begini bertambah satu lagi koleksiku.” Gumamnya dalam hati.

Sore itu, di teras rumah sambil menikmati senja ia mengaduk secangkir coklat panas. Sendok untuk mengaduk coklat panas itulah yang ia gunakan untuk mencongkel mata para lelakinya. Kemudian, ia menyimpan semua mata itu dalam sebuah toples bening yang terbuat dari kaca. Sudah puluhan pasang mata yang berhasil ia koleksi dan mungkin akan terus bertambah. Entah bagaimana menjelaskannya, wanita itu selalu merasa bahagia setiap kali mata-mata itu berkedip padanya.



Diikutsertakan dalam #FF100Kata
16/11/13 4 komentar

Sial!

Ilustrasi



 “Dasar cowok cupu.

Perkataan itu yang masih terpatri di benak Deni. Teman-teman sebayanya mengejeknya begitu lantaran hanya dia saja yang belum pernah melakukan ML (Making love).

Merasa geram atas perlakuan teman-temannya, lantas Deni nekat pergi ke tempat prostitusi sendirian. Deni menyewa salah satu PSK untuk melampiaskan syahwatnya. Di ruangan yang tak terlalu luas ini Deni akan melepas keperjakaannya.

Dengan keadaan setengah telanjang wanita itu mendekat ke arah Deni yang sedari tadi sudah berbaring di ranjang. Untuk pertama kalinya Deni mengalami ini. Jantungnya berdegub kencang, hasratnya membuncah.

“Aawww…” Deni merintih kesakitan.

Wanita di hadapannya melenguh, kedua tanganya memegang cambuk dan dildo.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

Catatan :

Cupu merupakan bahasa gaul dari singkatan Culun Punya.
Dildo (atau dildoe) adalah alat permainan seks biasanya berbentuk seperti penis untuk interaksi jasmani dalam masturbasi atau hubungan seksual.

15/11/13 0 komentar

Aku Su(Parman)

Ilustrasi



Saat pertama kali aku masuk ke dalam kamarnya, aku langsung di buat takjub. Segala hal di kamarnya, mulai dari tempat tidur, dekorasi di dinding hingga bantal semuanya memperlihatkan tokoh fiksi itu.

Itu belum seberapa, bahkan Parman rela mengeluarkan uang ratusan juta dan nekat memermak wajah dan tubuhnya supaya persis seperti superhero idolanya.

“Dasar orang sinting.”

Entah kegilaan apalagi yang akan di lakukannya. Siang itu dia berniat menuntaskan segala obsesi dan ambisinya, dengan kostum berwarna biru, jubah berwarna merah dan perisai “S” berwarna kuning di dadanya, dia berdiri di atas balkon di apartemannya di lantai 20.

“Akulah SUPARMAN.”

Tubunya meluncur bebas.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata



14/11/13 2 komentar

Surat dari masa depan.

ilustrasi



Tahun 2350.

Dunia telah berubah, Manusia sudah tak percaya dengan agama. Uang, berlian dan semua benda berharga lainnya sudah tak ada nilainya lagi.

Semua orang terpaksa mengantre, menunggu giliran untuk di tato pergelangan tangannya. Dengan begitu manusia resmi bersekutu dengannya—Iblis.

Manusia tak perlu lagi bekerja. Setiap hari yang ada hanyalah kesenangan dan berpesta pora. Dengan menscan tato barcode di pergelangan tangan, semua orang bebas membeli apapun tanpa harus membayar. Makan, minum dan kebutuhan lainnya, semuanya gratis. Sedangkan orang yang masih percaya adanya Tuhan—seperti aku, hanya menunggu kematian menjemput.

“Klik.”

“Semoga suratku ini di baca manusia pada masa lampau.”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata
13/11/13 0 komentar

Virus ganas.

ilustrasi



“Coba jelaskan apa keluhanmu?”

“Jantung saya sering berdegup kencang dan tak beraturan, Dok. Perasaan saya selalu gelisah, setiap malam saya selalu susah tidur.”

“Sejak kapan anda mengalami itu?”

“Sekitar satu tahun terakhir ini sih, Dok.”

Dokter di hadapanku ini mencoba menganalisis penyakit apa yang sedang aku derita. Dengan alat yang di hubungkan ke telinganya ia mendeteksi sesuatu yang aneh di dalam dadaku.

“Gimana, Dok?”

“Sepertinya anda positif terkena virus, tak ada yang bisa menolong anda, terkecuali anda sendiri. Terlebih virus ini tergolong ganas dan tak ada obatnya.”

 “Saran saya, nyatakan saja perasaanmu atau cinta yang mengendap itu akan menggerogoti hatimu.”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata



12/11/13 0 komentar

AYAH.

ilustrasi.



“Bu, aku ingin berhenti dari pekerjaan dan menjadi penulis.”

“Apa?”

Perkataanku mengejutkan Ibu yang sedang memasak di dapur. Pandangannya tertuju padaku. Aku tertunduk, sorotan matanya menyiratkan ketidaksetujuan.

“Nanti Ibu sampaikan keinginanmu pada Ayah, Ibu yakin Ayahmu pun tak akan setuju.”

Begitulah, aneh memang. Sejak dulu setiap kali aku menginginkan sesuatu aku akan bilang kepada Ibu. Kemudian Ibuku akan menyampaikan pada Ayah, di penuhi atau tidaknya keinginanku itu tergantung persetujuannya. Iya, aku dan Ayah memang jarang sekali berkomunikasi.

*

“Ayah bilang apa?” Ibu menarik napas kemudian menghembuskanya perlahan.

“Lakukan sesukamu, Ayahmu bilang seorang pria punya impian yang tidak bisa di mengerti wanita.”


Diikutsertakan dalam #FF100Kata
11/11/13 0 komentar

Jagoan.




“Iya… terus, Bu…”

“Bagus, dorong terus…”

Napas wanita itu tersengal-sengal, keringat sudah membanjiri wajah dan seluruh tubuhnya. Dokter Ridwan dibantu asistennya masih berusaha mengeluarkan si jabang bayi dari rahim wanita itu. Sementara lelakinya menunggu di luar, cemas menunggu kelahiran anak pertamanya. Bibirnya tampak sibuk merapal do’a.

“Ibu, tarik napas dalam-dalam dari hidung.” Perintah dokter.

“Iyak, doronggg…” wanita itu menjerit sejadi-jadinya. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.

Hening…


Seorang bayi laki-laki telah lahir. Tapi, bayi itu bergeming pun tak mengeluarkan tangisan. Dokter Ridwan berinisiatif menampari bokong bayi itu supaya menangis. Bayi itu menyeringai. Dengan kaki mungilnya ia menendang dokter itu hingga terpental.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata
0 komentar

Kejar dan Hajar.



Malam itu sunyi sekali. Di luar rumah hanya terdengar ceracau binatang malam dan sesekali terdengar suara lolongan anjing. Aku berjalan terkantuk-kantuk saat menuju dapur. Tengah malam begini aku terjaga, tenggorokanku malam itu terasa kering. Ingin rasanya aku minum barang satu sampai dua teguk air untuk menghilangkan haus.

Aku tergeragap, saat mendengar suara aneh dari arah dapur. Aku mengendap-endap untuk mencari tahu. Ternyata, dua orang berpakaian serba hitam masuk dalam rumah.

“Malinggg…” teriakku. Mereka tersentak, lalu lari terbirit-birit.


“Kejar.”

Tiba-tiba nenek yang sedari tadi tidur pulas di kamar, muncul di sampingku seraya melempar sapu. Sapu itu terbang dan menghajar maling itu.



Diikutsertakan dalam #FF100Kata 
09/11/13 1 komentar

Mati (lagi)




“Katanya kamu cinta sama aku. Tapi, kenapa kamu malah selingkuh dengan perempuan jalang itu?”

Wajah Ratih memerah, darah dalam tubuhnya seperti mendidih. Di bawah panggung penonton di buat terpukau dengan aktingnya. Ia begitu menjiwaii karakter tokoh dalam cerita.

“Dengar penjelasanku dulu.”

Robi bergegas mengejar dan menarik tangan Ratih. Belum juga sempat Robi berbicara sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipinya.

Hening…

Merasa terhina atas perlakuan Ratih, Robi mengambil sebilah pisau yang sudah disiapkan untuk properti. Dan tanpa ragu menancapkannya di punggung Ratih. Robi menyeringai.
Pertunjukan telah usai. Penonton bertepuk tangan. Di bawah panggung sekali lagi, aku harus menyaksikan kematianku sendiri.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata



08/11/13 0 komentar

Racikan kopi, sang istri.




“Harum…”

Hidungku mengendus aroma kopi yang menyeruak dari arah dapur. Dari teras rumah kupandangi wajah istriku yang sedang asik memutar-mutar sendok kecil pada sebuah cangkir kopi. Aku merasa menjadi manusia paling beruntung, punya istri cantik sekaligus pandai membuat kopi.

“Ah,.. Sedap.”

Kuseruput kopi ternikmat buatan istriku itu. Lalu mulai membaca koran pagi ini. Bosan, semua isi berita tentang korupsi. Kusesap lagi, lagi dan lagi bibir cangkir itu hingga kopi habis tak tersisa. Tiba-tiba pandanganku mulai gelap, begitu pekat seperti ampas kopi. Kepalaku berkunang-kunang. Tubuhku tergeletak di lantai.

Ternyata selain kopi dan gula, istriku sengaja menambahkan racun di dalam kopi racikannya.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata

07/11/13 0 komentar

Perawan tua.






Mau sampai kapan kamu nunggu lelaki itu?”

Kata-kata Bapak masih terngiang di kepalaku. Seharusnya dulu aku menuruti perintahnya, menikah dengan anak dari teman masa kecilnya. Tapi, aku malah menolak perjodohan itu. Karena hidup ini terlalu singkat untuk di jalani bersama orang yang salah.

“Aku janji, kepergianku tak akan lama. Setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan, aku akan pulang dan langsung melamarmu.”

Ucapan dan tatapan mata mas Jaka waktu itu begitu menyakinkanku. Ini sudah 10 tahun sejak kepergianya. Tak kuhiraukan walau banyak pria yang berusaha menggodaku.

Tapi,

Sekarang apalah arti setia, yang tersisa hanya seorang kembang desa yang menjelma menjadi perawan tua.


Diikutsertakan dalam #FF100Kata
06/11/13 2 komentar

Sopir angkot itu?

Kembali lagi, kulihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kiriku.
Sudah hampir jam sebelas malam. Angin malam mulai menyisir kulit. Keadaan di halte ini mulai sepi.
Hanya ada aku sendiri. Sudah lebih dari empat jam aku di sini. Entah sudah berapa ratus angkutan umum yang melintas di depanku. Aku hanya menunggu angkutan umum yang kutumpangi kemarin. Tapi, sedari tadi, sejak jam pulang kantor hingga kini, angkutan umum yang kumaksud tak kunjung lewat.
Aku dibuat penasaran dengan sosok sopir kemarin, wajahnya tak asing buatku. Memang masih samar-samar di ingatanku. Tapi aku yakin pasti itu Ayah. Ayahku yang dulu.

Diikutsertakan dalam #FF100Kata

30/10/13 1 komentar

Badut dan biola butut.


Ilustrasi Melctra




"Heh, ngapain kamu ke sini? ini tempat belajar, bukan tempat sirkus. Pergi sana."

Ada sedikit kegaduhan yang terjadi di gerbang sekolah. Terdengar satpam sekolah sedang beradu mulut dengan orang asing. keriuhan pagi itu mengundang perhatian hampir seluruh warga sekolah. Dari kejauhan Tika tampak keheranan, sedikit mengernyitkan dahi, bertanya tanya dalam hati, apa sedang terjadi.

"Ada badut...!!! ada badut...!!! ada badut...!!! hahahahaha...!!! " Terdengar gelak tawa dan sorak sorai teman-temannya yang di iringi dengan tepuk tangan.

"Badut?" Tika segera berlari ke kerumunan itu, menyelinap di antara teman-temannya.

Tika terkejut saat mendapati seorang lelaki berpakaian warna-warni, dengan rambut seperti gulali, wajahnya pucat pasi, bibirnya merah merekah sampai ke pipi. belum lagi hidungnya yang merah bulat seperti buah tomat. Tika kenal betul sosok aneh yang ada di hadapannya itu.

"Abang! maaf, pak ini kakak saya." Tika segera menarik tangan badut itu dan meminta maaf kepada satpam atas kegaduhan yang di lakukan kakaknya.

"Bang, Jono ngapain sih ke sini? bikin malu Tika aja." Ucapnya kesal.

"Abang cuma mau ngantelin bekal makan siang kamu yang ketinggalan aja, nih."

"Yaudah, pokoknya besok-besok abang jangan pernah dateng ke sekolah Tika lagi, apapun alesannya."

___


Entah bagaimana menjelaskannya. Tika begitu membenci badut, apalagi yang menjadi badut itu kakaknya sendiri. “Kenapa harus jadi badut? Apa tak ada pekerjaan lain.” Menurutnya menjadi badut hanya menyiksa diri sendiri. Terperangkap dalam kostum yang pengap, berdandan seperti orang gila, ditertawakan banyak orang, hanya mempermalukan diri sendiri saja. Tentu saja, Tika sendiri pun merasa malu. Menjadi bahan olok-olokan teman, itu sudah risiko yang harus ditanggung oleh Tika. Apalagi sejak kedatangan kakaknya ke sekolahnya waktu itu. Semua orang kini tahu kalau Tika adalah adik dari seorang kakak yang berprofesi sebagai badut. Hari-harinya jadi dipenuhi dengan kekesalan.
Sejak kematian Ayahnya, Jono yang tidak pernah menamatkan sekolah dasar, harus bekerja membantu Ibunya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sejak kecil Jono sudah mengalami sedikit gangguan mental, bicaranya pun cadel. Menjadi badut bukanlah cita-cita Jono. Ini bukanlah pilihan hidup, melainkan kenyataan hidup yang harus di jalaninya. Ia merasa mendapat kepuasan tersendiri ketika orang lain bisa dibuatnya tertawa. Larut dalam kesenangan bersama, berbagi kebahagian.
Jono tak pernah merasa malu, dengan apa yang ia lakukan. Baginya menjadi badut adalah profesi yang mulia.

__


          Siang itu, dihari minggu. Di tengah jalan komplek, Jono beraksi dengan gerak gerik yang menggemaskan, tutur kata humoris yang terlontar dari mulutnya mengundang gelak tawa setiap anak-anak yang menontonnya. Tepuk tangan yang meriah dengan senyum yang lebar tergambar jelas di wajah mereka. Memancing kebahagian, itulah beban yang harus dipikul setiap hari oleh Jono. Seusai menghibur, biasanya Jono akan berkeliling mengitari penonton dengan membawa kaleng bekas biskuit, lalu dengan senang hati atau iba, entahlah. Mereka kemudian memasukkan sebagian uangnya kedalam kaleng itu. Pendapatan, Jono dalam sehari tidak menentu. Kadang dalam sehari ia bisa memperoleh tiga puluh ribu, kadang kalau sedang beruntung, dalam sehari ia bisa membawa pulang uang sampai lima puluh ribu.

Jono pun akan dengan senang hati, bilamana ada orang yang mengundangnya untuk memeriahkan perayaan pesta ulang tahun. Di situlah kehadirannya selalu ditunggu-tunggu. Menjadi badut juga menimbulkan kesenangan di hati, Jono. Bisa dibilang pekerjaan ini menjadi sarana Jono untuk mengobati kegundahan di hatinya. Gelak tawa anak-anak kecil yang di godanya seolah menjadi penawar, bila mengingat sikap acuh Tika yang di lakukan terhadapnya. Tapi, walaupun begitu Jono tak pernah marah ataupun merasa dendam terhadap adik satu-satunya itu. Ia sangat sayang dengan adiknya. Sebagai kakak, Jono juga berkeinginan suatu hari nanti bisa menjadi kakak yang bisa di banggakan oleh adiknya.

Suatu sore, saat Jono beranjak ingin pulang, tak sengaja ia melihat Tika yang masih berseragam sekolah. Ia berdiri di depan kaca sebuah toko peralatan musik. Matanya begitu lekat memandangi etalase yang berisi sebuah biola. Jono tahu sejak kecil adiknya suka sekali dengan musik, apalagi dengan biola. Untuk itu, setiap hari jum’at Tika akan selalu pulang terlambat karna harus mengikuti ekstrakurikuler musik di sekolahnya. Melihat pemandangan itu, hati Jono terenyuh, seperti ada yang menjalar didadanya. Sebagai kakak ia merasa tak berguna, bahkan untuk sekadar menyenangkan hati adiknya saja ia tidak bisa. Sore itu ia berjanji dalam hati akan bekerja lebih giat lagi. Ia bertekad akan menghadiahkan sebuah biola untuk adiknya. Jono berharap dengan begitu sikap acuh Tika terhadapnya akan berubah.

___


          Setelah Tika pergi. Menjauh meninggalkan toko itu, Jono masih dengan kostum badutnya menghapiri pemilik toko itu.
Maap, koh. Mau tanya, halga biola itu belapa yah?” Tanya, Jono sambil menunjuk kearah etalase berisi biola.
“Wah, yang ini mahal, harganya delapan ratus lima puluh ribu.” Ujar pemilik toko yang masih keturunan orang Tionghoa itu.
Mendengar jawaban pemilik toko itu, Jono menjadi tertunduk lesu. Uang yang di milikinya saat ini tak cukup untuk membeli biola itu.
Tlimakasih koh, nanti kalo uang saya udah cukup, saya akan kesini lagi.” Setelah pemilik toko itu menggangguk, kemudian Jono beranjak pergi.
          Yang ada dipikirannya kini, apa bisa dia memdapat uang sebanyak itu. Melihat uang sebanyak itu saja ia belum pernah. Tapi, Jono tak mau menyerah sebelum berperang. Setiap hari, Jono berkeliling dari kampung ke kampung, menghibur setiap anak di kampung yang dia lalui. Kakinya seolah tak punya rasa lelah untuk melangkah, peluh yang bercucuran karna kostum yang membuatnya gerah pun tak dihiraukannya. Jono begitu gigih mencari uang. Ia ingin segera mewujudkan impiannya itu. Ia tak sabar melihat ekspresi adiknya saat dia pulang membawa biola yang di idamkannya.
Celengan yang terbuat dari tanah liat berbentuk ayam ini lah, tempat Jono menyisihkan sebagian pendapatannya. Sedikit demi sedikit jerih payah yang dilakukan Jono mulai terlihat hasilnya. Pundi-pundi uangnya mulai terkumpul. Jono mengangkat celengan itu lalu menggoyang-goyangkannya di udara. Ia pun tersenyum. Tidak lama lagi keinginannya akan tercapai.
Tak terasa, sudah tiga bulan berlalu. Jono membawa celengannya ke tempat toko peralatan musik waktu itu. Sesampainya di toko, Jono bertemu dengan lelaki keturunan Tionghoa itu lagi.
“Koh, saya mau beli biola itu. Uangnya ada di sini.” Kata, Jono sambil menyodorkan celengan berbentuk ayam miliknya.
“Ada berapa isinya?” balas pemilik toko itu.
“Akoh, itung sendili aja.”
Jono hanya berharap uang di dalam celengannya itu cukup untuk membeli biola. Setelah celengan itu dipecah dan dihitung isinya ternyata uang yang dikumpulkan Jono selama ini masih kurang.
kalo ditambah kostum badut ini, mau ndak, koh?” Jono menawarkan kostum badutnya untuk menutupi kekurangannya.
Karna merasa iba dengan Jono, akhirnya pemilik toko itu bersedia menukar uang yang ada di celengan tadi, ditambah kostum badut milik Jono dengan biola. Jono tampak semringah, akhirnya keinginannya tercapai. Dengan setengah berlari, Jono bergegas pulang. Tak sabar rasanya ia ingin memberikan biola ini untuk Tika. Karna terlalu senang, Jono sampai tak memperhatikan jalan. Tanpa dia ketahui sebuah mobil sedan melaju kencang ke arahnya, Jono tak sempat menghindar, mobil sedan itu menghempaskan tubuhnya.

___


“Kita sambut penampilan violinis berbakat kita, Kartika dwi putri.”
Suara tepuk tangan riuh membahana di dalam gudung, dari belakang panggung seorang gadis cantik dengan baju dress warna pink tanpa motif, melenggang dengan anggun ke tengah panggung dengan membawa biola. Biola yang pada akhirnya membawanya menjadi seorang yang dikenal. Ia menyapu bersih pemandangan dihadapannya. Ia masih merasa tak percaya. Kini ratusan pasang mata tertuju padanya. Senyum kebahagian merekah dari wajahnya yang jelita. Tangan mungilnya mendekatkan pengeras suara ke bibirnya yang ranum seraya berkata.

“Lagu ini saya persembahkan untuk seorang yang sangat berarti dalam hidup dan karir saya, seorang badut yang selalu menginspirasi saya, seorang kakak yang selalu saya banggakan. Saya yakin sekarang dia sudah bahagia di Surga.”

                                                                             ***



21/10/13 0 komentar

Sore itu ...

Sore itu ...
Aku ingin larut pada gemeriak air laut yang setia mencumbui bibir pantai.
Deburan ombak menjelma bunyi paling syahdu sepenangkapan indrawi.
Di kejauhan burung-burung nampak lelah mengepakan sayap.
Di pelataran dermaga seorang lelaki tua tercenung, berteman senyap.

Sore itu ...
Aku ingin tenggelam pada semburat warna jingga yang melukis angkasa.
Kala senja berkilau emas, menawarkan keindahan pada retina mata.
Ku harap sebait puisi mampu merajut asa.
Menghapus ingatan tentang dirimu yang jelita.

Sore itu ...
Aku ingin melayang bersama hembusan angin yang menyisir kulit.
Aku percaya kesejukannya mampu mengobati hati yang sakit.
Menurutmu apa yang lebih sia-sia dari menggarami air laut?
Benar, Aku yang terpaut, mencintaimu terlalu larut.


Kepulauan seribu, 12 Oktober 2013
14/10/13 0 komentar

Prompt #29 - 27 Maret.




Toko buku baru saja di buka. Tapi, aku langsung masuk dengan topi berwarna hitam dan berjalan sedikit menunduk. Aku berusaha supaya orang di sini tidak mengenaliku, aku jadi merasa gugup saat penjaga kasir itu terus memandangiku, takut penyamaranku ini terbongkar. Aku menyebar pandangan ke seluruh penjuru toko buku yang masih sepi ini. Hanya terlihat seorang Ibu yang sibuk memilih buku resep makanan dan beberapa anak yang sedang asyik membaca di bagian rak komik. Aku mencari letak buku-buku novel berada. Setelah berkeliling akhirnya ku temukan buku yang ku cari di tumpukan buku novel terbaru.

Aku tak perlu lagi membaca bagian belakang novel yang baru saja aku ambil, bahkan aku pun sudah hafal betul setiap bagian di dalamnya. Tanpa berpikir lama, ku langkahkan kaki menuju meja kasir untuk membayar. Penjaga kasir yang sedari tadi memandangiku pun melempar senyum, ramah.

"Silahkan." matanya begitu lekat memandangi wajahku. lalu ku balas senyumannya sembari menyodorkan novel yang baru saja ku ambil. Penjaga kasir itu mengambil novel yang ku sodorkan untuk di scan dan sekali lagi ia mencuri pandang dengan ku. Ada sekian detik mata kami saling bertemu.

"Lho, Mas ini kan--."

"Sssttt...." aku segera memotong ucapan penjaga kasir itu.

"Jangan berisik." kataku, sambil mengawasi keadaan sekitar. penjaga kasir itu hanya mengangguk anggukkan kepala.

"Ini benerkan mas Dika yang penulis itu? lho, kok beli bukunya sendiri sih? oiya, aku ngefans banget lho sama mas Dika, buku bukunya juga bagus. Novel yang terakhir mas Dika tulis ini, saya juga udah baca, cerita mas Dika waktu nembak si Nina itu, so sweet banget." Aku sedikit tergeragap menanggapi pernyataan penjaga kasir ini.  Dia sedikit heran kenapa aku membeli bukuku sendiri.

"Wah, makasih yah udah mau baca. Oiya, mbak bisa minta tolong sekalian di bungkus bukunya, kalo ada pake kertas kado warna merah yah."

"Oh, bisa mas, tunggu sebentar yah." kemudian penjaga kasir itu pergi ke belakang, mengambil selembar kertas kado warna merah tua lalu dengan cekatan membungkus buku yang ku ambil tadi. beberapa menit kemudian penjaga kasir itu menghapiriku dengan membawa buku yang sudah terbungkus rapi.

"Ini, mas. Jadi total semuanya jadi enam puluh delapan ribu." Penjaga kasir itu--Fitri namanya--setelah aku membaca tanda pengenal yang ada di bajunya,  memasukkan buku yang sudah terbungkus tadi ke dalam sebuah kantong plastik lalu memberikannya padaku.

Aku mengeluarkan dompet yang ada di saku celana, kemudian memberikan uang selembar seratus ribuan kepada penjaga kasir itu. setelah menerima uang kembalian dan mengucapkan terima kasih, aku bergegas keluar dari toko buku itu.

Hari ini hari selasa tanggal 27 maret. Tanggal yang tidak pernah bisa aku lupakan, tanggal yang penuh dengan kenangan. Buku ini adalah hadiah untuk Nina. Buku yang sebagian besar menceritakan kisahku dengannya. Kisah dari pertama kali kami bertemu hingga semesta menjadikan kami dua manusia yang saling cinta. Tapi, itu dulu. Di perjalanan menuju rumah Nina, aku berharap dengan kado yang tak seberapa ini, dia bisa selalu ingat dengaku. Aku berharap kado ini menjadi hadiah paling spesial di hari ulang tahunnya, sekaligus menjadi hadiah paling indah di acara pernikahannya hari ini.

499 kata.

09/10/13 0 komentar

Sweet Seventeen.



Aku tergeragap saat pintu itu mulai dengan terbuka dengan sendirinya.
Lampu kamar yang tiba-tiba menyala, sangat menyilaukan mata.
Beberapa orang serentak meniup terompet yang seketika memecah keheningan.
Sebagian lagi membawakanku sebuah kue ulang tahun yang sangat besar.
Dengan lilin yang terbakar di atasnya, dengan bentuk angka satu dan tujuh yang saling berdampingan.

Sementara itu, di balik selimut aku masih berusaha menutupi wajahku yang kusut.
Iya, hari ini adalah hari ulang tahunku, bahkan aku sendiri hampir lupa.
Tanpa diberi aba-aba, mereka lantas menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku.
Sebelum meniup lilin, aku pun memejamkan mata. mengucap sebait doa untukku dan mereka.
Hanya dengan sekali tarikan napas, lilin dia atas kue besar itu pun langsung padam.

Tiba-tiba ruangan kembali menjadi, aku pun terkesiap.
Semua karangan di atas hanyalah imajinasiku saja.
Sekadar menghibur diri, aku yang kesepian ini.
sendirian di dalam peti mati.
08/10/13 2 komentar

Prompt #28 - Kejutan.



Selesai bertemu klien, Gunawan bergegas menuju tempat parkir. di langkahnya yang lebar-lebar itu ia sempat mengirim sebuah pesan.

"Sayang, nanti ada sopir yang akan menjemputmu, tunggu aku di restoran biasa yah. Aku ada kejutan untukmu."

Setelah pesan itu berhasil terkirim, ia segera menyalakan mobil dan menancap gas menuju restoran.
Bulan lalu ia sudah berjanji kepada Ratih, ingin merayakann ulang tahun pernikahan yang pertama di restoran itu, tempat pertama kali Gunawan menyatakan cintanya pada Ratih. Sebuah kejutan istimewa pun sudah disiapkan oleh Gunawan untuk Ratih. Ia pun tak sabar kejutan apa yang akan diberikan oleh istrinya nanti.

Disisi lain.

Setelah diantar oleh seorang sopir, kini Ratih sudah duduk manis di sebuah restoran yang ada di pinggir laut. Ia menatap ke luar jendela, Wajahnya tampak semringah melihat sang surya yang membakar langit. Hatinya pun berbunga bunga, Bagaimana tidak, ia tidak menyangka seorang wanita biasa seperti dirinya kini menjadi seorang Nyonya Gunawan, istri dari seorang pengusaha muda yang kaya raya. Yang sekarang ini sedang menuju kemari, Sesuai janjinya hari ini kami akan merayakan 1 tahun pernikahan kami.

---

Disepanjang perjalanan senyum Gunawan terus merekah, ia teringat waktu ia melamar Ratih. Di depan orang banyak ia bersimpuh bak seorang pangeran, dengan mengumpulkan semua keberanian yang ada, Gunawan meraih tangan Ratih, menatap matanya dalam dalam.
Lalu dari sakunya Gunawan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah cerah. Saat itu ia mengutarakan keinginannya untuk memperistri Ratih. Tentu saja, Ratih sebagai wanita biasa yang diperlakukan seperti putri raja itu mengiyakan permintaan Gunawan.

Kali ini Gunawan ingin sekali mengulang kenangan itu. Ia menatap sebuah bunga mawar merah serta kotak berisi cincin bermata berlian yang ada di jok mobil sebelahnya. Tangannya meraih kotak berisi cincin itu, ia sudah tak sabar ingin menyematkan cincin itu di jari manis Ratih. Bedanya, cincin ini adalah sebagai kado ulang tahun pernikahan kami. Saat sedang asik mengamati indahnya cincin berlian itu tak sengaja gunawan menjatuhkannya.

"Ah, sial jatuh kemana tadi?"

Masih dengan posisi menyetir mobil, tangan Gunawan menggagau lantai mobil. Ia berusaha mencari cincin berharga puluhan juta itu di atas karpet mobil yang ada di kakinya. konsentrasinya pun terpecah, mulutnya mulai mengerutu. Secara tiba tiba dari arah berlawanan sebuah mobil besar dengan bak berisi pasir melaju kencang ingin menyalip mobil yang ada di depannya. Gunawan kaget setengah mati, kaki kanannya reflek menginjak rem dalam dalam. Tapi, apa yang terjadi tiba tiba rem mobil Gunawan blong. Jantungnya serasa ingin keluar, dengan terpaksa Gunawan membanting setir, ia tak kuasa mengendalikan mobilnya. Gunawan berteriak sambil menutupi wajahnya yang ketakutan. Dengan kecepatan tinggi mobil Gunawan menabrak pembatas jalan hingga hancur lalu terperosok kedalam jurang. Mobilnya terguling hingga ke dasar jurang, hingga akhirnya meledak dan asap hitam membumbung tinggi ke udara.

---

Ratih menatap arloji yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. Sudah 45 menit berlalu, belum ada tanda tanda kabar dari Gunawan suaminya. Ratih mulai cemas, ia kembali meneguk sebuah lemonade yang tinggal setengah gelas yang ia pesan sekitar setengah jam yang lalu.
Ponsel yang ada di atas meja pun bergetar. Ratih buru buru meraihnya.

"Hallo, gimana?"

"Tenang bos, semuanya beres. Kami udah bikin rem mobilnya blong, kami berani jamin sekarang suami bos udah mampus." Terdengar suara seorang lelaki di ujung telepon.

"Oke, kerja bagus."

Ratih menutup telepon, lalu tersenyum licik.

"Dengan begini semua hartanya sekarang jadi milikku."

                                                                             ***
01/10/13 2 komentar

Merelakan.



Urusan merelakan memang selalu pelik.
Seperti menarik keluar hati dari dalam bilik.
Lalu merajangnya menjadi bagian yang kecil dengan sebilah belati.
Rasanya seperti tak mau bernapas lagi.

Urusan merelakan memang selalu rumit.
Seperti benang yang kusut yang hendak ku jahit.
Lalu coba menguraikannya dengar sabar.
Hingga pikiran ini terkapar.

Urusan merelakan memang selalu sukar.
Seperti soal fisika yang mengakar.
Lalu dengan akal dan pikiran yang tersisa.
Berusaha menyelesaikannya dengan ribuan rumus yang ada.

Urusan merelakan memang selalu susah.
Yang ada dikepala hanyalah resah.
Yang ada dipikiran hanyalah gelisah.
Pada akhirnya, hal terbaik yang bisa dilakukan hanyalah pasrah.

Tanjung priok, 1 Oktober 2013
26/09/13 9 komentar

Prompt #27 - Kartu rahasia.



Malam semakin larut. Tapi, tamu undangan malah semakin membanjiri acara pernikahan ini, tak menunjukkan tanda tanda akan surut.
Ini adalah hari paling membahagiankan bagi dua sejoli, Rudi dan Indri. Mereka sengaja membuat pesta yang cukup meriah dan menyebar lumayan banyak undangan ke kerabat dan teman temannya.

Menjadi raja dan ratu semalam memang sudah menjadi impian mereka berdua sejak berkomitmen menjalin kasih selama 2 tahun terakhir. Wajah kebahagian begitu terpancar dari kedua mempelai yang saling bersanding di pelaminan itu. Berusaha menutupi rasa lelah karna sudah seharian ini sibuk menyalami ribuan tamu undangan yang datang.

---

Meja dan kursi yang ada di pelataran rumah pun mulai ditumpuk. Begitu pula dengan tenda dan dekorasi yang mulai di copot satu persatu. Inilah saat terindah yang sudah ditunggu tunggu, Rudi dan Indri. Mengarungi pernikahan setelah pesta berakhir. Malam pertama!

Seolah tak sabar, Rudi dengan cekatan meraih tubuh Indri yang sintal dan membopongnya keatas ranjang. Rudi pun terengah engah, masih berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan. Bibir mereka pun mulai tak ada jarak.

"Ssssttt..." Matikan dulu lampunya, perintah Indri.

Rudi pun tersenyum kecil tanda mengiyakan. Setelah lampu padam mereka pun mulai saling melucuti pakaian. Jantung serasa di pompa dan darah seperti mengalir begitu cepet keseluruh tubuh. Keringat mulai mengalir deras menenggelamkan mereka pada lautan asmara.

---

Sudah hampir setahun umur pernikahan kami. Tapi, belum ada tanda tanda kalau Indri akan hamil. Belum lagi ocehan dari orang tua yang selalu menuntut ingin segera menimang cucu membuat Rudi selalu mencari alasan untuk berkilah.
Pagi itu, Rudi sedang bersantai di rumah. Matanya meruncing begitu melihat sebuah dompet di atas meja.
Sekitar satu jam yang lalu Indri pamit ingin pergi ke pasar untuk membeli keperluan untuk hari ini.
Tak perlu berpikir lama Rudi pun meraih dompet itu dan berniat ingin menyusul Indri istrinya kepasar.

Saat dompet itu sudah ada di tangan Rudi, tetiba ada sesuatu yang terjatuh dari selipan dompet itu. Rudi sedikit mengernyitkan dahi. Sebuah kartu.
Rudi pun memungut kartu yang terjatuh itu dari lantai.

"KARTU TANDA PENDUDUK REPUBLIK INDONESIA."

Tertulis pada kartu tersebut dengan huruf kapital. Kemudian Rudi membalik KTP tersebut. Matanya langsung tertuju pada foto yang ada di KTP itu. Ia sedikit terheran, melihat seorang berambut cepak dengan kumis tipis. Belum habis rasa herannya, matanya di buat terbelalak membaca biodata di KTP itu.

Nama                     : Indra prasetyo
Tempat/Tgl Lahir    : Jakarta, 27-09-1987
Jenis kelamin          : LAK.......

Belum tuntas membaca semua biodata di KTP itu, jantung Rudi serasa di tusuk belati. Ia pun tergagap. Pandangannya pun gelap.

                                                                         ***
23/09/13 0 komentar

Pembunuhan berencana.



Malam sudah begitu larut, Aku dan Ibu sudah terlelap diatas ranjang.
Sayup-sayup terdengar suara aneh dari luar kamar. Aku berdigik.
Bulu kuduk ku pun berdiri. Seperti terdengar suara orang berbisik bisik.
Kurasa ada lebih dari dua orang. Aku tampak gelisah, ingin sekali ku bangunkan Ibu.

"Ayo, masuk jangan sampai ketahuan, pokoknya malam ini wanita jalang dan anaknya itu harus mati."
Perintah seseorang dari pintu balik pintu.

Suara itu semakin jelas dan tak asing didaun telingaku. Itu suara Ayah.
Dia berencana ingin membunuhku dan Ibu.

"Astaga, apa dia sudah gila?."

Suara  itu semakin mendekat kearah kami. kali ini aku benar-benar ketakutan.
Belum sempat Ayah dan gerombalannya membuka pintu.
tanpa pikir panjang ku dobrak dinding rahim Ibu, ku bangunkan dia dan menyelamatkan diri.

                                                                          ***

22/09/13 0 komentar

Firasat



Awalnya biasa saja saat Irfan melahap semangkuk bubur ayam kesukaannya. Tapi, setelah beberapa suapan bubur ayam itu masuk ke dalam mulutnya ia merasa ada yang aneh. lantas Irfan memuntahkan makanan yang sudah terlanjur ia lahap. betapa terkejutnya ia, dilantai gigi giginya copot berserakan bersamaan dengan makanan yang ia muntahkan.

"Aaaahhhhhh..."

Irfan berteriak memecah keheningan malam. Ia terjaga, dengan peluh yang bercucuran diatas ranjang Irfan berusaha mengatur napasnya yang masih terengah engah.

"Syukurlah, ternyata cuma mimpi".

Lalu ia bangkit dari ranjangnya menuju dapur, meminum satu gelas air putih untuk menenangkan diri. kemudian ia kembali merebahkan tubuhnya diatas kasur.

----

Sepulang sekolah Irfan teringat mimpinya semalam, kata seorang teman kalau kamu mimpi gigi kamu copot, itu pertanda, kalau kamu akan terkena musibah. Irfan adalah orang yang tak pernah percaya dengan hal hal yang tak pasti seperti itu. Apalagi hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib. Dia berpikir itu hanya mimpi buruk biasa. mimpi hanyalah mimpi tak lebih dari sekedar bunga tidur.

Tapi entah kenapa semakin ia memikirkan mimpinya semalam, perasaan Irfan menjadi serba cemas dan gugup. Ia berjalan tanpa memandang kedepan, pikirannya menerawang jauh entah kemana. Saat ingin menyeberang jalan secara tiba tiba sebuah mobil melaju kencang kearahnya, Irfan tampak terkejut dan berteriak. Tanpa sempat menghidar mobil itu pun lantas menabrak tubuh Irfan dan menghempaskannya. Diatas aspal Irfan pun terkapar. gelap.

----

Irfan masih berusaha membuka matanya yang begitu berat. seluruh tubuhnya seperti mati rasa ia tak bisa menggerakkan kedua tangan dan kakinya.

"Dimana aku?".

"Kenapa begitu gelap disini."

Terakhir kali yang Irfan ingat hanyalah ada sebuah mobil yang melaju kencang menabrak tubuhnya, dan terdengar samar suara riuh orang mengerumuni dirinya yang sedang terkapar tak berdaya. setelah itu pandangannya gelap dan tak ingat apa apa lagi.

"Apa aku sedang ada di surga?" Irfan merasa asing disini. ia seperti sedang berada disebuah lorong yang gelap. Lalu Irfan menyusuri lorong gelap itu, berusaha mencari jalan keluar.

"Ayaaah...Ibuuuu..." Irfan berteriak memanggil kedua orang tuanya. tapi, tak ada jawaban.

hening.

Di ujung lorong yang gelap ada secercah cahaya yang begitu menyilaukan. Irfan berusaha mendekati cahaya itu. matanya terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang sedang ia saksikan. Didalam cayaha itu Irfan bisa melihat dengan jelas Ayahnya yang sedang menyetir mobil. 

"Ayaaahhh....Ayaaahhh...apa kau dengar aku?" 

Irfan berusaha memanggil tapi tak ada respon dari Ayahnya. Ia tak bergeming masih fokus mengendarai mobil. tapi, tiba tiba mobil yang dikendarai oleh Ayahnya oleng, ban depan mobil itu secara tak terduga meledak. Ayahnya tak kuasa mengendalikan mobil. Dengan kecepatan tinggi mobil itu menabrak pembatas jalan dan .......".

"AYAAAAHHHH....".

Teriakan itu memecah keheningan di rumah sakit. Dengan infus yang masih menempel dihidung, Irfan berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan. Ibunya yang berdiri tak jauh dari ranjang Irfan dirawat pun ikut terkejut. gelas yang ada di tangannya tak sengaja ia jatuhkan dan pecah saat berbenturan dengan lantai.

"Irfan anakku, akhirnya kau sadar juga, nak. Sudah 3 tahun lebih kau tertidur". 

Ibunya terisak sambil memeluk erat anak tunggalnya. Belum sempat Irfan berbicara, handphone Ibunya yang ada diatas meja pun berdering.

"Hallo".

"Iya, hallo. Apa benar ini dengan keluarga bapak Harry?" terdengar suara lelaki di ujung telpon.

"Iya,benar saya istrinya".

"Ma'af, kami dari kepolisian. Ingin memberitahukan bahwa suami Ibu mengalami kecelakaan, kini jenasahnya ada di rumah sakit. Mobil yang ia kendarai menabrak pembatas jalan dan masuk kedalam jurang".

***

Dikembangkan dari fiksimini:

@NafriYrrah : Ibu tak sengaja menjatuhkan gelas. Di tempat lain, mobil ayah masuk jurang. Aku terbangun dari koma panjang.

Aku mengikutsertakan FF ini ke: Ngasih hadiah - september bahagia yang diadakan oleh Harry irfan.

04/09/13 0 komentar

Sepasang sepatu tua.


Siang itu, sepasang kaki berjalan lebih cepat tidak seperti biasanya. Ia seperti di buru oleh waktu. napasnya terengah engah.

"Assalamualaikum, aku pulang" ia mengucapkan salam.

Sesampainya di rumah ia hanya menaruh tas dan menganti baju seragamnya. setelah itu ia bergegas pergi keluar menuju lapangan bola dekat rumahnya.

"Hey, makan dulu" teriak Ibu dari dapur.

"iya, nanti saja. mau main bola dulu." balasnya.

Andi adalah seorang pelajar di salah satu SMA negeri di Jakarta, orangnya sederhana, mudah bergaul, mandiri dan sangat hobi bermain bola. hanya saja di seorang yang pemalu. setiap kali ada masalah ia segan meminta bantuan. katanya, ia tak mau merepotkan orang lain.

Memang sudah menjadi kebiasaan Andi, setiap pulang sekolah ia selalu bermain sepakbola dengan teman temannya di lapangan dekat rumahnya. sebenarnya itu hanya sebidang tanah kosong milik pemerintah yang tak terurus, lalu di manfa'atkan oleh orang di sektar sini untuk bermain bola setiap sore.

Andi suka sekali bermain sepakbola, itu sudah menjadi kebutuhan wajib baginya. tak heran ia masuk di team sepakbola di sekolahnya. walaupun dia hobi sekali berolahraga, tapi, di bidang akademis ia juga termasuk anak yang cerdas.

"Aku harus rajin berlatih, supaya bisa memenangkan kompetisi sepakbola antar SMA tahun ini. dan suatu hari nanti akan ku bersihkan nama baik Ayah". tekatnya dalam hati.

Memang Andi ini adalah anak yang berbakat, banyak orang yang memuji kemampuannya mengolah si kulit bundar. Itu semua tak terlepas dari peran Ayahnya sebagai mantan pesepak bola nasional Indonesia.
darah yang mengalir dalam tubuh Andi adalah darah pesepak bola yang pernah berjaya pada eranya.

Tapi, tak jarang ia juga mendapat cibiran dari teman temannya. karna dulu sewaktu TIMNAS berlaga dalam final menghadapi negeri tetangga, dalam adu pinalti. Ayahnya gagal menyarangkan bola ke gawang lawan. itu semua berdapak pada kekalahan TIMNAS Indonesia.

Ayahnya merasa bersalah atas kekalahan itu. ia terpukul, lantas memutuskan untuk gantung sepatu
di usia yang tergolong masih muda.

sejak ayahnya memutuskan untuk berhenti bermain bola, kehidupan keluarga andi pun mulai berubah. Suatu ketika mendadak Ayahnya terkena serangan jantung dan meninggal sewaktu andi masih berumur 7 tahun.

kini Ibunya harus berkerja keras untuk membiayai sekolah andi dan adiknya sendirian.

---

Di pinggir lapangan Andi terdiam melihat sepatu bola miliknya yang sudah butut. di bagian depan kulit sepatu sudah terkelupas, hampir berlubang mungkin karena terlalu sering terkena benturan keras.

Ia melihat ke sekelilingnya, teman teman Andi bermain bola dengan sepatu yang bagus. ia merasa iri, tapi tak mungkin ia meminta kepada Ibunya untuk membelikan sepatu baru.

"Hey, ndi ayo cepat sini gabung".

salah seorang dari temannya memanggil dari kejauhan.teriakan itu membuyarkan lamunan andi.

"Oh, iya tunggu sebentar".

"Ah, apa yang aku lamunkan. aku harus tetap fokus berlatih untuk pertandingan final besok".

Tak lama kemudian Andi bergabung dengan teman temannya di tengah lapangan untuk melakukan pemanasan. hal itu harus di lakukan agar terhindar dari bahaya cidera. Andi dan teman temannya tampak bersemangat. setelah melakukan peregangan, mereka berlari lari kecil mengitari lapangan beberapa kali.

Sepatu Andi tampak begitu kontras saat iring iringan kaki itu berlari berdempetan. begitu lusuh penuh debu.
tak sedap di pandang mata. tapi Andi tak begitu mempedulikan hal itu.

Setelah dirasa cukup, mereka lantas membagi tim menjadi dua bagian. tim A dan tim B. Sebagian lagi duduk di pinggir lapangan sebagai cadangan. Andi masuk dalam tim A dan dapat giliran main pertama.


"priiiiittttt"


Peluit di tiup pertanda pertandingan di mulai. Andi berlari mengejar bola, teman temannya juga tak kalah bersemangat. mereka saling kejar dan berebut bola, seolah tak peduli dengan terik matahari yang masih lumayan menyengat sore itu. Ribuan butir peluh pun berjatuhan ke tanah.

"Andi terima ini" 

seorang teman memberikan sebuah umpan lambung, Andi lekas berlari menyambut bola. tepat di mulut gawang tanpa pengawalan, bola sudah berada di kaki andi.

"shootiiiing"

Teriak teman yang memberi umpan. tak perlu menunggu lama, andi mengayunkan kakinya sekuat tenaga menendang bola ke arah gawang, lalu dengan satu hentakan...


"DAAASSS!!! KRACKK!!!"


Bola melesat ke arah kanan gawang, kiper pun tak sanggup meraihnya, dan...

"GOOOOLLLLLL"

riuh suara tim A merayakan keberhasilan Andi menyarangkan bola ke gawang lawan.

---

Andi terdiam, ia masih berdiri di situ, tak bergeming, tak bersuara. Ia tak melakukan selebrasi atas keberhasilannya mencetak gol. salah seorang teman berlari kearahnya dan menepuk pundakya.

"Hey, Ndi, yang barusan itu keren banget"

Andi masih terdiam, ia menunduk melihat ke arah sepatunya.

"Hey, kenapa?"

"Sepertinya sepatuku robek"

Sepatu bola andi satu satunya rusak, gol yang baru saja tercipta harus di bayar mahal olehnya. sekarang sepatu sebelah kanan andi seperti mulut buaya yang sedang menganga.
Andi tertunduk lesu. ia mencopot kedua sepatu dan menentengnya keluar lapangan. ia tak mungkin lagi melanjutkan pertandingan dengan keadaan sepatu seperti itu.

setelah Andi di gantikan, ia duduk di pinggir lapangan. menarik napas dalam dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Aduh gimana pertandingan besok yah, kalau sepatu begini?"

Sepatu Andi sudah tidak mungkin bisa di pakai lagi. di perbaiki pun tak mungkin. tak terasa langit mulai gelap. latihan untuk hari ini di hentikan. masih tertunduk lesu andi pulang sambil menenteng sepatu butut miliknya.


Sesampainya di rumah Andi menggeletakkan sepatunya di sudut ruangan, lalu masuk ke kamar.
ia merasa sangat lelah, pikirannya sedang kacau.

setelah membersihkan diri, Andi merebahkan badannya di atas ranjang dengan kedua tangannya menyilang di belakang kepala.

"Bagaimana besok aku bisa bertanding kalau tidak ada sepatu" pertanyaan itu terus berkecamuk di pikiran Andi.

Padahal besok adalah pertandingan penting, tapi sepatu bola satu satunya malah rusak. andi merasa binggung. di tengah pikirannya yang tak menentu, tiba tiba pintu kamarnya ada yang mengetuk.

"Tok...tok...tok...!!!" Andi sedikit tersentak.

"Andi, keluar sebentar nak, Ibu mau memberimu sesuatu" suara Ibu Andi dari balik pintu.

"Iya, Bu sebentar" kemudian andi bangkit dari tempat tidurnya, lalu membukakan pintu.

"Ada apa Bu?" tanya Andi.

"Ini, untukmu" Ibunya menyodorkan sebuah kotak kardus berwarna coklat. Andi nampak kebingungan.

"Apa isi kotak kardus ini Bu?"

"Bukalah, itu bekas mendiang Ayahmu, Ibu sudah lama menyimpannya"

Andi seolah tak percaya dengan apa yang di lihatnya, kotak kardus itu berisi sepasang sepatu tua milik almarhum Ayahnya.

"Ini untukku Bu?" terpancar raut bahagia dari wajah Andi.

"Dulu Ayahmu pernah berpesan kepada Ibu untuk menjaga sepatu itu. Dan meminta untuk memberikannya padamu suatu hari nanti. Ibu rasa ini waktu yang tepat. Sekarang itu jadi milikmu, pergunakan dan rawatlah baik baik"

"Terimakasih Bu" Andi menggangguk mantap, lalu memeluk Ibunya.

"Terima kasih Ayah" kata Andi dalam hati.


30/07/13 0 komentar

Puisi dan sajak bulan juli.



Hujan di bulan juli. Menebar berkah dipagi hari. Berselimutkan sinar mentari. Melangkah pasti menuju cinta yang hakiki ©

Jangan beri tahu aku cara meninggalkanmu. Biarkanlah aku sebentar lagi, mencintaimu dengan caraku. ~

Jika hujan adalah jendela rindu. Hatimu adalah pintu yang tidak pernah bisa ku buka. ~

~ : Aku mencintai gerimis yang kau rengguh setiap malam. Jangan jadikan aku pengemis, yang meminta cinta. Suram.

~ : Seolah lelah berjibaku dengan hujan. Mentari pun dirundung kepedihan. meratapi lelaki tanpa senyuman.

6. ~ : bagaimana aku bisa lupa. Asal kau tahu saja, senyummu itu seperti luka.

7. ~ : kuakui kau selalu berhasil membuatku tertawa riang, ter#senyum sendiri. Tapi sayang, hanya dalam mimpi.

8. ~ : seorang gadis serupa bidadari. Memiliki seindah mentari. Bolehkah hamba yang hina ini. Meminangmu sebagai istri.

~ :Hitam dan putihnya kehidupan.Manis dan pahitnya masa lalu.Semua terekam jelas pada kedua kelingking yang saling tersimpul ini

~ : Akulah jari yang tak kenal lelah,mengoreskan namamu di atas .Walaupun ribuan kali ombak menggulungnya.Aku tetap setia.

~ : jika kamu sebuah . Angin adalah rindu yang akan menerbangkanmu. Mencari rengkuhan hangat itu.

~ : riuh suara ombak mendesir. Disini aku berpikir. Melukis sebuah syair. Dengan segenggam

~ : pagi ini, seorang pemuda telah lahir. Kelak ia akan menjadi penyihir. Menggubah deretan aksara menjadi syair.

~ : syair yang kau ciptakan begitu hidup. Memberi warna pada lentera yang mulai redup. Baginya itu sudah lebih dari cukup.

~ : cukup dengan berceloteh pemuda ini menjelma menjadi angin.Menerbangkan daun yang mulai menguning.Kesejukan bagi yang menenang.

~ : Mengenang, adalah caraku berbagi kisah.Tentang pemuda yang menjelma menjadi angin dengan susah payah.Tanpa pantang menyerah.

~ : menyerah hanya untuk pecundang. Biarkan deretan syair ini terus berdendang. Menjadi candu, membuat hatinya meradang.

~ : Aku selalu ingin menjadi , yang menerangi setiap langkahmu. Memunguti bait puisi yang berceceran.

~ : hati yang nyeri tertusuk . Lekas kau obati. Dengan ribuan bait puisi.

~ : Mengingatmu; sama saja berjalan diatas . Lukanya tak terlalu dalam. Tapi, membekas di hati.
 
;