|
Ilustrasi Melctra |
"Heh, ngapain kamu ke sini? ini tempat belajar, bukan tempat
sirkus. Pergi sana."
Ada sedikit kegaduhan yang terjadi di
gerbang sekolah. Terdengar satpam sekolah sedang beradu mulut dengan orang
asing. keriuhan pagi itu mengundang perhatian hampir seluruh warga sekolah.
Dari kejauhan Tika tampak keheranan, sedikit mengernyitkan dahi, bertanya tanya
dalam hati, apa sedang terjadi.
"Ada badut...!!! ada badut...!!! ada badut...!!! hahahahaha...!!!
" Terdengar gelak tawa dan sorak sorai teman-temannya yang di iringi
dengan tepuk tangan.
"Badut?" Tika segera berlari ke kerumunan itu,
menyelinap di antara teman-temannya.
Tika terkejut saat mendapati seorang
lelaki berpakaian warna-warni, dengan rambut seperti gulali, wajahnya pucat
pasi, bibirnya merah merekah sampai ke pipi. belum lagi hidungnya yang merah
bulat seperti buah tomat. Tika kenal betul sosok aneh yang ada di hadapannya
itu.
"Abang! maaf, pak ini kakak saya." Tika segera menarik
tangan badut itu dan meminta maaf kepada satpam atas kegaduhan yang di lakukan
kakaknya.
"Bang, Jono ngapain sih ke sini? bikin malu Tika aja."
Ucapnya kesal.
"Abang cuma mau ngantelin bekal makan siang kamu yang
ketinggalan aja, nih."
"Yaudah, pokoknya besok-besok abang jangan pernah dateng ke
sekolah Tika lagi, apapun alesannya."
___
Entah bagaimana menjelaskannya. Tika
begitu membenci badut, apalagi yang menjadi badut itu kakaknya sendiri. “Kenapa
harus jadi badut? Apa tak ada pekerjaan lain.” Menurutnya menjadi badut hanya
menyiksa diri sendiri. Terperangkap dalam kostum yang pengap, berdandan seperti
orang gila, ditertawakan banyak orang, hanya mempermalukan diri sendiri saja.
Tentu saja, Tika sendiri pun merasa malu. Menjadi bahan olok-olokan teman, itu
sudah risiko yang harus ditanggung oleh Tika. Apalagi sejak kedatangan
kakaknya ke sekolahnya waktu itu. Semua orang kini tahu kalau Tika adalah adik
dari seorang kakak yang berprofesi sebagai badut. Hari-harinya jadi dipenuhi
dengan kekesalan.
Sejak kematian Ayahnya, Jono yang tidak
pernah menamatkan sekolah dasar, harus bekerja membantu Ibunya untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Sejak kecil Jono sudah mengalami sedikit gangguan mental, bicaranya
pun cadel. Menjadi badut bukanlah cita-cita Jono. Ini bukanlah pilihan hidup,
melainkan kenyataan hidup yang harus di jalaninya. Ia merasa mendapat kepuasan
tersendiri ketika orang lain bisa dibuatnya tertawa. Larut dalam kesenangan
bersama, berbagi kebahagian.
Jono tak pernah merasa malu, dengan apa yang ia lakukan. Baginya
menjadi badut adalah profesi yang mulia.
__
Siang itu, dihari
minggu. Di tengah jalan komplek, Jono beraksi dengan gerak gerik yang
menggemaskan, tutur kata humoris yang terlontar dari mulutnya mengundang gelak
tawa setiap anak-anak yang menontonnya. Tepuk tangan yang meriah dengan senyum
yang lebar tergambar jelas di wajah mereka. Memancing kebahagian, itulah beban
yang harus dipikul setiap hari oleh Jono. Seusai menghibur, biasanya Jono akan
berkeliling mengitari penonton dengan membawa kaleng bekas biskuit, lalu dengan
senang hati atau iba, entahlah. Mereka kemudian memasukkan sebagian uangnya
kedalam kaleng itu. Pendapatan, Jono dalam sehari tidak menentu. Kadang dalam
sehari ia bisa memperoleh tiga puluh ribu, kadang kalau sedang beruntung, dalam
sehari ia bisa membawa pulang uang sampai lima puluh ribu.
Jono pun akan dengan senang hati, bilamana
ada orang yang mengundangnya untuk memeriahkan perayaan pesta ulang tahun. Di situlah kehadirannya selalu ditunggu-tunggu. Menjadi badut juga menimbulkan
kesenangan di hati, Jono. Bisa dibilang pekerjaan ini menjadi sarana Jono
untuk mengobati kegundahan di hatinya. Gelak tawa anak-anak kecil yang di
godanya seolah menjadi penawar, bila mengingat sikap acuh Tika yang di lakukan
terhadapnya. Tapi, walaupun begitu Jono tak pernah marah ataupun merasa dendam
terhadap adik satu-satunya itu. Ia sangat sayang dengan adiknya. Sebagai kakak,
Jono juga berkeinginan suatu hari nanti bisa menjadi kakak yang bisa di
banggakan oleh adiknya.
Suatu sore, saat Jono beranjak ingin
pulang, tak sengaja ia melihat Tika yang masih berseragam sekolah. Ia berdiri
di depan kaca sebuah toko peralatan musik. Matanya begitu lekat memandangi
etalase yang berisi sebuah biola. Jono tahu sejak kecil adiknya suka sekali
dengan musik, apalagi dengan biola. Untuk itu, setiap hari jum’at Tika akan
selalu pulang terlambat karna harus mengikuti ekstrakurikuler musik di
sekolahnya. Melihat pemandangan itu, hati Jono terenyuh, seperti ada yang
menjalar didadanya. Sebagai kakak ia merasa tak berguna, bahkan untuk sekadar
menyenangkan hati adiknya saja ia tidak bisa. Sore itu ia berjanji dalam hati
akan bekerja lebih giat lagi. Ia bertekad akan menghadiahkan sebuah biola untuk
adiknya. Jono berharap dengan begitu sikap acuh Tika terhadapnya akan berubah.
___
Setelah Tika pergi.
Menjauh meninggalkan toko itu, Jono masih dengan kostum badutnya menghapiri
pemilik toko itu.
“Maap, koh. Mau tanya, halga biola itu belapa yah?” Tanya, Jono
sambil menunjuk kearah etalase berisi biola.
“Wah, yang ini mahal, harganya delapan ratus lima puluh ribu.”
Ujar pemilik toko yang masih keturunan orang Tionghoa itu.
Mendengar jawaban pemilik toko itu, Jono menjadi tertunduk lesu.
Uang yang di milikinya saat ini tak cukup untuk membeli biola itu.
“Tlimakasih koh, nanti kalo uang saya udah cukup, saya akan kesini lagi.” Setelah pemilik toko itu menggangguk, kemudian Jono beranjak pergi.
Yang ada dipikirannya kini, apa bisa dia memdapat uang sebanyak itu. Melihat uang sebanyak
itu saja ia belum pernah. Tapi, Jono tak mau menyerah sebelum berperang. Setiap
hari, Jono berkeliling dari kampung ke kampung, menghibur setiap anak di
kampung yang dia lalui. Kakinya seolah tak punya rasa lelah untuk melangkah,
peluh yang bercucuran karna kostum yang membuatnya gerah pun tak dihiraukannya. Jono begitu gigih mencari uang. Ia ingin segera mewujudkan
impiannya itu. Ia tak sabar melihat ekspresi
adiknya saat dia pulang membawa biola yang di idamkannya.
Celengan yang terbuat dari tanah liat
berbentuk ayam ini lah, tempat Jono menyisihkan sebagian pendapatannya. Sedikit
demi sedikit jerih payah yang dilakukan Jono mulai terlihat hasilnya.
Pundi-pundi uangnya mulai terkumpul. Jono mengangkat celengan itu lalu
menggoyang-goyangkannya di udara. Ia pun tersenyum. Tidak lama lagi
keinginannya akan tercapai.
Tak terasa, sudah tiga bulan berlalu. Jono
membawa celengannya ke tempat toko peralatan musik waktu itu. Sesampainya di
toko, Jono bertemu dengan lelaki keturunan Tionghoa itu lagi.
“Koh, saya mau beli biola itu. Uangnya ada di sini.” Kata, Jono
sambil menyodorkan celengan berbentuk ayam miliknya.
“Ada berapa isinya?” balas pemilik toko itu.
“Akoh, itung sendili aja.”
Jono hanya berharap uang di dalam celengannya itu cukup untuk
membeli biola. Setelah celengan itu dipecah dan dihitung isinya ternyata uang
yang dikumpulkan Jono selama ini masih kurang.
“kalo ditambah kostum badut ini, mau ndak, koh?” Jono menawarkan
kostum badutnya untuk menutupi kekurangannya.
Karna merasa iba dengan Jono, akhirnya pemilik toko itu bersedia
menukar uang yang ada di celengan tadi, ditambah kostum badut milik Jono
dengan biola. Jono tampak semringah, akhirnya keinginannya tercapai. Dengan
setengah berlari, Jono bergegas pulang. Tak sabar rasanya ia ingin memberikan
biola ini untuk Tika. Karna terlalu senang, Jono sampai tak memperhatikan
jalan. Tanpa dia ketahui sebuah mobil sedan melaju kencang ke arahnya, Jono tak
sempat menghindar, mobil sedan itu menghempaskan tubuhnya.
___
“Kita sambut penampilan violinis berbakat kita, Kartika dwi putri.”
Suara tepuk tangan riuh membahana di dalam gudung, dari belakang
panggung seorang gadis cantik dengan baju dress warna pink tanpa motif,
melenggang dengan anggun ke tengah panggung dengan membawa biola. Biola yang
pada akhirnya membawanya menjadi seorang yang dikenal. Ia menyapu bersih pemandangan dihadapannya. Ia masih merasa tak percaya. Kini ratusan pasang mata tertuju padanya. Senyum kebahagian merekah dari wajahnya yang jelita. Tangan mungilnya mendekatkan pengeras suara ke bibirnya yang ranum seraya berkata.
“Lagu ini saya persembahkan untuk seorang yang sangat berarti
dalam hidup dan karir saya, seorang badut yang selalu menginspirasi saya,
seorang kakak yang selalu saya banggakan. Saya yakin sekarang dia sudah bahagia
di Surga.”
***