30/10/13 1 komentar

Badut dan biola butut.


Ilustrasi Melctra




"Heh, ngapain kamu ke sini? ini tempat belajar, bukan tempat sirkus. Pergi sana."

Ada sedikit kegaduhan yang terjadi di gerbang sekolah. Terdengar satpam sekolah sedang beradu mulut dengan orang asing. keriuhan pagi itu mengundang perhatian hampir seluruh warga sekolah. Dari kejauhan Tika tampak keheranan, sedikit mengernyitkan dahi, bertanya tanya dalam hati, apa sedang terjadi.

"Ada badut...!!! ada badut...!!! ada badut...!!! hahahahaha...!!! " Terdengar gelak tawa dan sorak sorai teman-temannya yang di iringi dengan tepuk tangan.

"Badut?" Tika segera berlari ke kerumunan itu, menyelinap di antara teman-temannya.

Tika terkejut saat mendapati seorang lelaki berpakaian warna-warni, dengan rambut seperti gulali, wajahnya pucat pasi, bibirnya merah merekah sampai ke pipi. belum lagi hidungnya yang merah bulat seperti buah tomat. Tika kenal betul sosok aneh yang ada di hadapannya itu.

"Abang! maaf, pak ini kakak saya." Tika segera menarik tangan badut itu dan meminta maaf kepada satpam atas kegaduhan yang di lakukan kakaknya.

"Bang, Jono ngapain sih ke sini? bikin malu Tika aja." Ucapnya kesal.

"Abang cuma mau ngantelin bekal makan siang kamu yang ketinggalan aja, nih."

"Yaudah, pokoknya besok-besok abang jangan pernah dateng ke sekolah Tika lagi, apapun alesannya."

___


Entah bagaimana menjelaskannya. Tika begitu membenci badut, apalagi yang menjadi badut itu kakaknya sendiri. “Kenapa harus jadi badut? Apa tak ada pekerjaan lain.” Menurutnya menjadi badut hanya menyiksa diri sendiri. Terperangkap dalam kostum yang pengap, berdandan seperti orang gila, ditertawakan banyak orang, hanya mempermalukan diri sendiri saja. Tentu saja, Tika sendiri pun merasa malu. Menjadi bahan olok-olokan teman, itu sudah risiko yang harus ditanggung oleh Tika. Apalagi sejak kedatangan kakaknya ke sekolahnya waktu itu. Semua orang kini tahu kalau Tika adalah adik dari seorang kakak yang berprofesi sebagai badut. Hari-harinya jadi dipenuhi dengan kekesalan.
Sejak kematian Ayahnya, Jono yang tidak pernah menamatkan sekolah dasar, harus bekerja membantu Ibunya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sejak kecil Jono sudah mengalami sedikit gangguan mental, bicaranya pun cadel. Menjadi badut bukanlah cita-cita Jono. Ini bukanlah pilihan hidup, melainkan kenyataan hidup yang harus di jalaninya. Ia merasa mendapat kepuasan tersendiri ketika orang lain bisa dibuatnya tertawa. Larut dalam kesenangan bersama, berbagi kebahagian.
Jono tak pernah merasa malu, dengan apa yang ia lakukan. Baginya menjadi badut adalah profesi yang mulia.

__


          Siang itu, dihari minggu. Di tengah jalan komplek, Jono beraksi dengan gerak gerik yang menggemaskan, tutur kata humoris yang terlontar dari mulutnya mengundang gelak tawa setiap anak-anak yang menontonnya. Tepuk tangan yang meriah dengan senyum yang lebar tergambar jelas di wajah mereka. Memancing kebahagian, itulah beban yang harus dipikul setiap hari oleh Jono. Seusai menghibur, biasanya Jono akan berkeliling mengitari penonton dengan membawa kaleng bekas biskuit, lalu dengan senang hati atau iba, entahlah. Mereka kemudian memasukkan sebagian uangnya kedalam kaleng itu. Pendapatan, Jono dalam sehari tidak menentu. Kadang dalam sehari ia bisa memperoleh tiga puluh ribu, kadang kalau sedang beruntung, dalam sehari ia bisa membawa pulang uang sampai lima puluh ribu.

Jono pun akan dengan senang hati, bilamana ada orang yang mengundangnya untuk memeriahkan perayaan pesta ulang tahun. Di situlah kehadirannya selalu ditunggu-tunggu. Menjadi badut juga menimbulkan kesenangan di hati, Jono. Bisa dibilang pekerjaan ini menjadi sarana Jono untuk mengobati kegundahan di hatinya. Gelak tawa anak-anak kecil yang di godanya seolah menjadi penawar, bila mengingat sikap acuh Tika yang di lakukan terhadapnya. Tapi, walaupun begitu Jono tak pernah marah ataupun merasa dendam terhadap adik satu-satunya itu. Ia sangat sayang dengan adiknya. Sebagai kakak, Jono juga berkeinginan suatu hari nanti bisa menjadi kakak yang bisa di banggakan oleh adiknya.

Suatu sore, saat Jono beranjak ingin pulang, tak sengaja ia melihat Tika yang masih berseragam sekolah. Ia berdiri di depan kaca sebuah toko peralatan musik. Matanya begitu lekat memandangi etalase yang berisi sebuah biola. Jono tahu sejak kecil adiknya suka sekali dengan musik, apalagi dengan biola. Untuk itu, setiap hari jum’at Tika akan selalu pulang terlambat karna harus mengikuti ekstrakurikuler musik di sekolahnya. Melihat pemandangan itu, hati Jono terenyuh, seperti ada yang menjalar didadanya. Sebagai kakak ia merasa tak berguna, bahkan untuk sekadar menyenangkan hati adiknya saja ia tidak bisa. Sore itu ia berjanji dalam hati akan bekerja lebih giat lagi. Ia bertekad akan menghadiahkan sebuah biola untuk adiknya. Jono berharap dengan begitu sikap acuh Tika terhadapnya akan berubah.

___


          Setelah Tika pergi. Menjauh meninggalkan toko itu, Jono masih dengan kostum badutnya menghapiri pemilik toko itu.
Maap, koh. Mau tanya, halga biola itu belapa yah?” Tanya, Jono sambil menunjuk kearah etalase berisi biola.
“Wah, yang ini mahal, harganya delapan ratus lima puluh ribu.” Ujar pemilik toko yang masih keturunan orang Tionghoa itu.
Mendengar jawaban pemilik toko itu, Jono menjadi tertunduk lesu. Uang yang di milikinya saat ini tak cukup untuk membeli biola itu.
Tlimakasih koh, nanti kalo uang saya udah cukup, saya akan kesini lagi.” Setelah pemilik toko itu menggangguk, kemudian Jono beranjak pergi.
          Yang ada dipikirannya kini, apa bisa dia memdapat uang sebanyak itu. Melihat uang sebanyak itu saja ia belum pernah. Tapi, Jono tak mau menyerah sebelum berperang. Setiap hari, Jono berkeliling dari kampung ke kampung, menghibur setiap anak di kampung yang dia lalui. Kakinya seolah tak punya rasa lelah untuk melangkah, peluh yang bercucuran karna kostum yang membuatnya gerah pun tak dihiraukannya. Jono begitu gigih mencari uang. Ia ingin segera mewujudkan impiannya itu. Ia tak sabar melihat ekspresi adiknya saat dia pulang membawa biola yang di idamkannya.
Celengan yang terbuat dari tanah liat berbentuk ayam ini lah, tempat Jono menyisihkan sebagian pendapatannya. Sedikit demi sedikit jerih payah yang dilakukan Jono mulai terlihat hasilnya. Pundi-pundi uangnya mulai terkumpul. Jono mengangkat celengan itu lalu menggoyang-goyangkannya di udara. Ia pun tersenyum. Tidak lama lagi keinginannya akan tercapai.
Tak terasa, sudah tiga bulan berlalu. Jono membawa celengannya ke tempat toko peralatan musik waktu itu. Sesampainya di toko, Jono bertemu dengan lelaki keturunan Tionghoa itu lagi.
“Koh, saya mau beli biola itu. Uangnya ada di sini.” Kata, Jono sambil menyodorkan celengan berbentuk ayam miliknya.
“Ada berapa isinya?” balas pemilik toko itu.
“Akoh, itung sendili aja.”
Jono hanya berharap uang di dalam celengannya itu cukup untuk membeli biola. Setelah celengan itu dipecah dan dihitung isinya ternyata uang yang dikumpulkan Jono selama ini masih kurang.
kalo ditambah kostum badut ini, mau ndak, koh?” Jono menawarkan kostum badutnya untuk menutupi kekurangannya.
Karna merasa iba dengan Jono, akhirnya pemilik toko itu bersedia menukar uang yang ada di celengan tadi, ditambah kostum badut milik Jono dengan biola. Jono tampak semringah, akhirnya keinginannya tercapai. Dengan setengah berlari, Jono bergegas pulang. Tak sabar rasanya ia ingin memberikan biola ini untuk Tika. Karna terlalu senang, Jono sampai tak memperhatikan jalan. Tanpa dia ketahui sebuah mobil sedan melaju kencang ke arahnya, Jono tak sempat menghindar, mobil sedan itu menghempaskan tubuhnya.

___


“Kita sambut penampilan violinis berbakat kita, Kartika dwi putri.”
Suara tepuk tangan riuh membahana di dalam gudung, dari belakang panggung seorang gadis cantik dengan baju dress warna pink tanpa motif, melenggang dengan anggun ke tengah panggung dengan membawa biola. Biola yang pada akhirnya membawanya menjadi seorang yang dikenal. Ia menyapu bersih pemandangan dihadapannya. Ia masih merasa tak percaya. Kini ratusan pasang mata tertuju padanya. Senyum kebahagian merekah dari wajahnya yang jelita. Tangan mungilnya mendekatkan pengeras suara ke bibirnya yang ranum seraya berkata.

“Lagu ini saya persembahkan untuk seorang yang sangat berarti dalam hidup dan karir saya, seorang badut yang selalu menginspirasi saya, seorang kakak yang selalu saya banggakan. Saya yakin sekarang dia sudah bahagia di Surga.”

                                                                             ***



21/10/13 0 komentar

Sore itu ...

Sore itu ...
Aku ingin larut pada gemeriak air laut yang setia mencumbui bibir pantai.
Deburan ombak menjelma bunyi paling syahdu sepenangkapan indrawi.
Di kejauhan burung-burung nampak lelah mengepakan sayap.
Di pelataran dermaga seorang lelaki tua tercenung, berteman senyap.

Sore itu ...
Aku ingin tenggelam pada semburat warna jingga yang melukis angkasa.
Kala senja berkilau emas, menawarkan keindahan pada retina mata.
Ku harap sebait puisi mampu merajut asa.
Menghapus ingatan tentang dirimu yang jelita.

Sore itu ...
Aku ingin melayang bersama hembusan angin yang menyisir kulit.
Aku percaya kesejukannya mampu mengobati hati yang sakit.
Menurutmu apa yang lebih sia-sia dari menggarami air laut?
Benar, Aku yang terpaut, mencintaimu terlalu larut.


Kepulauan seribu, 12 Oktober 2013
14/10/13 0 komentar

Prompt #29 - 27 Maret.




Toko buku baru saja di buka. Tapi, aku langsung masuk dengan topi berwarna hitam dan berjalan sedikit menunduk. Aku berusaha supaya orang di sini tidak mengenaliku, aku jadi merasa gugup saat penjaga kasir itu terus memandangiku, takut penyamaranku ini terbongkar. Aku menyebar pandangan ke seluruh penjuru toko buku yang masih sepi ini. Hanya terlihat seorang Ibu yang sibuk memilih buku resep makanan dan beberapa anak yang sedang asyik membaca di bagian rak komik. Aku mencari letak buku-buku novel berada. Setelah berkeliling akhirnya ku temukan buku yang ku cari di tumpukan buku novel terbaru.

Aku tak perlu lagi membaca bagian belakang novel yang baru saja aku ambil, bahkan aku pun sudah hafal betul setiap bagian di dalamnya. Tanpa berpikir lama, ku langkahkan kaki menuju meja kasir untuk membayar. Penjaga kasir yang sedari tadi memandangiku pun melempar senyum, ramah.

"Silahkan." matanya begitu lekat memandangi wajahku. lalu ku balas senyumannya sembari menyodorkan novel yang baru saja ku ambil. Penjaga kasir itu mengambil novel yang ku sodorkan untuk di scan dan sekali lagi ia mencuri pandang dengan ku. Ada sekian detik mata kami saling bertemu.

"Lho, Mas ini kan--."

"Sssttt...." aku segera memotong ucapan penjaga kasir itu.

"Jangan berisik." kataku, sambil mengawasi keadaan sekitar. penjaga kasir itu hanya mengangguk anggukkan kepala.

"Ini benerkan mas Dika yang penulis itu? lho, kok beli bukunya sendiri sih? oiya, aku ngefans banget lho sama mas Dika, buku bukunya juga bagus. Novel yang terakhir mas Dika tulis ini, saya juga udah baca, cerita mas Dika waktu nembak si Nina itu, so sweet banget." Aku sedikit tergeragap menanggapi pernyataan penjaga kasir ini.  Dia sedikit heran kenapa aku membeli bukuku sendiri.

"Wah, makasih yah udah mau baca. Oiya, mbak bisa minta tolong sekalian di bungkus bukunya, kalo ada pake kertas kado warna merah yah."

"Oh, bisa mas, tunggu sebentar yah." kemudian penjaga kasir itu pergi ke belakang, mengambil selembar kertas kado warna merah tua lalu dengan cekatan membungkus buku yang ku ambil tadi. beberapa menit kemudian penjaga kasir itu menghapiriku dengan membawa buku yang sudah terbungkus rapi.

"Ini, mas. Jadi total semuanya jadi enam puluh delapan ribu." Penjaga kasir itu--Fitri namanya--setelah aku membaca tanda pengenal yang ada di bajunya,  memasukkan buku yang sudah terbungkus tadi ke dalam sebuah kantong plastik lalu memberikannya padaku.

Aku mengeluarkan dompet yang ada di saku celana, kemudian memberikan uang selembar seratus ribuan kepada penjaga kasir itu. setelah menerima uang kembalian dan mengucapkan terima kasih, aku bergegas keluar dari toko buku itu.

Hari ini hari selasa tanggal 27 maret. Tanggal yang tidak pernah bisa aku lupakan, tanggal yang penuh dengan kenangan. Buku ini adalah hadiah untuk Nina. Buku yang sebagian besar menceritakan kisahku dengannya. Kisah dari pertama kali kami bertemu hingga semesta menjadikan kami dua manusia yang saling cinta. Tapi, itu dulu. Di perjalanan menuju rumah Nina, aku berharap dengan kado yang tak seberapa ini, dia bisa selalu ingat dengaku. Aku berharap kado ini menjadi hadiah paling spesial di hari ulang tahunnya, sekaligus menjadi hadiah paling indah di acara pernikahannya hari ini.

499 kata.

09/10/13 0 komentar

Sweet Seventeen.



Aku tergeragap saat pintu itu mulai dengan terbuka dengan sendirinya.
Lampu kamar yang tiba-tiba menyala, sangat menyilaukan mata.
Beberapa orang serentak meniup terompet yang seketika memecah keheningan.
Sebagian lagi membawakanku sebuah kue ulang tahun yang sangat besar.
Dengan lilin yang terbakar di atasnya, dengan bentuk angka satu dan tujuh yang saling berdampingan.

Sementara itu, di balik selimut aku masih berusaha menutupi wajahku yang kusut.
Iya, hari ini adalah hari ulang tahunku, bahkan aku sendiri hampir lupa.
Tanpa diberi aba-aba, mereka lantas menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku.
Sebelum meniup lilin, aku pun memejamkan mata. mengucap sebait doa untukku dan mereka.
Hanya dengan sekali tarikan napas, lilin dia atas kue besar itu pun langsung padam.

Tiba-tiba ruangan kembali menjadi, aku pun terkesiap.
Semua karangan di atas hanyalah imajinasiku saja.
Sekadar menghibur diri, aku yang kesepian ini.
sendirian di dalam peti mati.
08/10/13 2 komentar

Prompt #28 - Kejutan.



Selesai bertemu klien, Gunawan bergegas menuju tempat parkir. di langkahnya yang lebar-lebar itu ia sempat mengirim sebuah pesan.

"Sayang, nanti ada sopir yang akan menjemputmu, tunggu aku di restoran biasa yah. Aku ada kejutan untukmu."

Setelah pesan itu berhasil terkirim, ia segera menyalakan mobil dan menancap gas menuju restoran.
Bulan lalu ia sudah berjanji kepada Ratih, ingin merayakann ulang tahun pernikahan yang pertama di restoran itu, tempat pertama kali Gunawan menyatakan cintanya pada Ratih. Sebuah kejutan istimewa pun sudah disiapkan oleh Gunawan untuk Ratih. Ia pun tak sabar kejutan apa yang akan diberikan oleh istrinya nanti.

Disisi lain.

Setelah diantar oleh seorang sopir, kini Ratih sudah duduk manis di sebuah restoran yang ada di pinggir laut. Ia menatap ke luar jendela, Wajahnya tampak semringah melihat sang surya yang membakar langit. Hatinya pun berbunga bunga, Bagaimana tidak, ia tidak menyangka seorang wanita biasa seperti dirinya kini menjadi seorang Nyonya Gunawan, istri dari seorang pengusaha muda yang kaya raya. Yang sekarang ini sedang menuju kemari, Sesuai janjinya hari ini kami akan merayakan 1 tahun pernikahan kami.

---

Disepanjang perjalanan senyum Gunawan terus merekah, ia teringat waktu ia melamar Ratih. Di depan orang banyak ia bersimpuh bak seorang pangeran, dengan mengumpulkan semua keberanian yang ada, Gunawan meraih tangan Ratih, menatap matanya dalam dalam.
Lalu dari sakunya Gunawan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah cerah. Saat itu ia mengutarakan keinginannya untuk memperistri Ratih. Tentu saja, Ratih sebagai wanita biasa yang diperlakukan seperti putri raja itu mengiyakan permintaan Gunawan.

Kali ini Gunawan ingin sekali mengulang kenangan itu. Ia menatap sebuah bunga mawar merah serta kotak berisi cincin bermata berlian yang ada di jok mobil sebelahnya. Tangannya meraih kotak berisi cincin itu, ia sudah tak sabar ingin menyematkan cincin itu di jari manis Ratih. Bedanya, cincin ini adalah sebagai kado ulang tahun pernikahan kami. Saat sedang asik mengamati indahnya cincin berlian itu tak sengaja gunawan menjatuhkannya.

"Ah, sial jatuh kemana tadi?"

Masih dengan posisi menyetir mobil, tangan Gunawan menggagau lantai mobil. Ia berusaha mencari cincin berharga puluhan juta itu di atas karpet mobil yang ada di kakinya. konsentrasinya pun terpecah, mulutnya mulai mengerutu. Secara tiba tiba dari arah berlawanan sebuah mobil besar dengan bak berisi pasir melaju kencang ingin menyalip mobil yang ada di depannya. Gunawan kaget setengah mati, kaki kanannya reflek menginjak rem dalam dalam. Tapi, apa yang terjadi tiba tiba rem mobil Gunawan blong. Jantungnya serasa ingin keluar, dengan terpaksa Gunawan membanting setir, ia tak kuasa mengendalikan mobilnya. Gunawan berteriak sambil menutupi wajahnya yang ketakutan. Dengan kecepatan tinggi mobil Gunawan menabrak pembatas jalan hingga hancur lalu terperosok kedalam jurang. Mobilnya terguling hingga ke dasar jurang, hingga akhirnya meledak dan asap hitam membumbung tinggi ke udara.

---

Ratih menatap arloji yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. Sudah 45 menit berlalu, belum ada tanda tanda kabar dari Gunawan suaminya. Ratih mulai cemas, ia kembali meneguk sebuah lemonade yang tinggal setengah gelas yang ia pesan sekitar setengah jam yang lalu.
Ponsel yang ada di atas meja pun bergetar. Ratih buru buru meraihnya.

"Hallo, gimana?"

"Tenang bos, semuanya beres. Kami udah bikin rem mobilnya blong, kami berani jamin sekarang suami bos udah mampus." Terdengar suara seorang lelaki di ujung telepon.

"Oke, kerja bagus."

Ratih menutup telepon, lalu tersenyum licik.

"Dengan begini semua hartanya sekarang jadi milikku."

                                                                             ***
01/10/13 2 komentar

Merelakan.



Urusan merelakan memang selalu pelik.
Seperti menarik keluar hati dari dalam bilik.
Lalu merajangnya menjadi bagian yang kecil dengan sebilah belati.
Rasanya seperti tak mau bernapas lagi.

Urusan merelakan memang selalu rumit.
Seperti benang yang kusut yang hendak ku jahit.
Lalu coba menguraikannya dengar sabar.
Hingga pikiran ini terkapar.

Urusan merelakan memang selalu sukar.
Seperti soal fisika yang mengakar.
Lalu dengan akal dan pikiran yang tersisa.
Berusaha menyelesaikannya dengan ribuan rumus yang ada.

Urusan merelakan memang selalu susah.
Yang ada dikepala hanyalah resah.
Yang ada dipikiran hanyalah gelisah.
Pada akhirnya, hal terbaik yang bisa dilakukan hanyalah pasrah.

Tanjung priok, 1 Oktober 2013
 
;