30/08/14

Bahagia tanpamu.

Hampir tengah malam. Aku duduk tercenung di antara kegelapan. Sesekali mataku mengerjap-ngerjap menghalau rasa kantuk yang terus mendera. Sudah selarut ini suami mana yang masih terjaga, rela menunggu sang istri tercinta yang belum pulang. Aku terkesiap, terdengar derikan seperti pintu yang sengajadi buka secara perlahan. Kemudian diiringi suara langkah kaki yang samar-samar semakin mendekat.

“Hah…!!!”

Sekarang giliran dia yang terperanjat—Anggi, istriku yang sangat aku cintai. Anggi masih mengatur degup jantungnya yang tak beraturan lantaran masih kaget karna lampu di ruang tamu aku nyalakan secara tiba-tiba. Sepertinya dia sangat lelah. Wajahnya yang biasa dipoles make up tak lagi terlihat menawan. Rambutnya yang biasa tergerai indah kini terlihat kusut. Sepatu hak tinggi yang biasa dia pakai kini sudah ia tenteng. Dengan baju kantor yang masih melekat di tubuhnya Anggi terlihat sangat berantakan.

“Ngg…belum tidur, sayang?” Tanyanya sambil tersenyum. Senyum yang menurutku terlalu dipaksakan. Terlihat Anggi masih berusaha menghilangkan keterkejutannya. Aku bergeming.

“Dari mana aja, jam segini baru pulang? Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya. Kataku tanpa beranjak dari tempat aku berdiri.

“Biasa, aku ketemu sama klien!”

“Oh…” jawabku sinis.

“Kamu ini kenapa sih, belakangan kok aneh banget. Kayak nggak tau pekerjaanku aja.” Kini nada bicara Anggi mulai meninggi.
“Yah, bisa aja kamu bilang ketemu sama klien padahal asik pergi sama cowok lain, mana aku tau.”

            Mataku terbelalak. Napasku tercekat. Pipiku terasa seperti terbakar. Telapak tangan Anggi mendarat sangat keras di wajahku. Aku terdiam. Kulihat wajahnya memerah. Darah dalam tubuhnya seperti mendidih. Sekilas kulihat kelopak matanya mulai berembun. Beberapa detik, ada keheningan yang mencekik kami berdua.

“Aku nggak serendah yang kamu kira!”

Kemudian dia berbalik. Berjalan cepat setengah berlari ke arah pintu. Ingin sekali aku mengerjarnya. Berlutut dihadapannya, memohon maaf atas perkataanku tadi. Tapi, tubuh ini seperti mematung. Aku bersandar pada dinding. Tubuhku lemas dihantam penyesalan. Aku terduduk di lantai, membenamkan wajah dan meringkuk memeluk lututku sendiri.
            Aku benci situasi seperti ini. Ingin rasanya tanah ini merekah lalu menelanku hidup-hidup. Lelaki macam apa aku ini? Yang tega menyakiti, membuat istrinya sendiri terluka. Memang beberapa bulan belakangn ini rumah tangga kami kurang harmonis.

---

            Sejak pertengkaran hebat malam itu, Anggi sudah tak tinggal satu atap lagi denganku. Ia memilih tinggal bersama kedua orang tuanya. Kupikir kami memang perlu menyendiri untuk sementara. Merenungkan apa yang seharusnya dilakukan dengan hubungan rumah tangga yang mulai tak sehat ini. Dipertahankan atau… ah, aku tak sanggup menyebut kata itu.
            Bukankah pada saat seorang pria dan wanita saling mengikat janji suci yang di namai pernikahan, itu sudah membentuk suatu keluarga yang utuh? Utuh? Tapi tidak lengkap tanpa kehadiran seorang anak! Tapi, belum dikaruniai seoarang anak dalam pernikahan, seharusnya tidak menjadi alasan berkurangnya kebahagiaan, bukan? Lantas apa yang salah? Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam kepalaku. Aku menghela napas sambil memandangi langit-langit kamar.
Mungkin ini akar dari permasalahkanku dengan Anggi. Anak. Setiap pasangan yang menikah pasti berharap segera mendapatkan momongan. Tapi, sudah hampir tiga tahun dari usia pernikahan kami belum ada tangis bayi yang menghiasi rumah tanggaku dengan Anggi. Aku tahu Anggi sangat mendambakan seorang anak. Terlebih ibu dan mertuaku juga sudah sangat ingin menimang cucu. Anggi pun merasa bersalah karna belum bisa memberiku seorang anak. Aku pun tidak bisa serta merta menumpahkan semua kesalahan kepadanya.

---

Siang itu aku dan Anggi duduk satu meja di sebuah kafe, kami saling berhadapan. Aku dan Anggi sama-sama tenggelam dalam diam. Ada semacam keheningan yang menyelimuti kami berdua. Pikiran kami sama-sama menggeliat di dalam benak yang terlampau padat. Tanpa aku sadari, untuk pertama kalinya aku tak sanggup menatap wajahnya.

“Mau sampai kapan seperti ini?” aku terkesiap akhirnya Anggi bersuara, memulai pembicaraan, mencairkan suasana yang hampir beku.

“Aku rasa kamu udah tau, kenapa aku menyuruhmu ke sini.” Ada jeda sejenak di sini, Anggi berusaha berbicara dengan susah payah. “Aku udah lelah dengan semua ini. Sikapmu, tekanan dari orang tuamu, aku nggak kuat, mas.”

Mata Anggi menatapku tajam. Wajahnya terlihat pilu. Entah seberapa berat kesedihan yang menekannya. Aku masih membisu menunggu kelanjutan perkataan Anggi. Saat itu juga ingin rasanya aku memeluknya, menenangkannya mengatakan semua ini akan baik-baik saja.

“Aku nggak bisa kayak gini terus, mas.”

Dari nada bicaranya yang rendah, aku tahu pembicaraan ini akan menjurus kemana. Aku binggung harus menanggapi seperti apa. Pernyataan Anggi barusan menyiratkan kalau dia sudah tak nyaman lagi menjadi istriku.
“Kamu mau kita pisah.” Jawabku lirih menahan rasa sesak di dada. Lidahku mendadak pahit saat ku ucap kata ‘pisah’. Entah kenapa ada rasa nyeri yang menelusup setelah mengucapkan kata itu. Tak pernah sekalipun terbesit dalam benakku, menjalani hari-hari tanpa kehadiran Anggi, tanpa senyumnya, tanpa cintanya. Perpisahan? Mungkin itu jawabannya. Walau aku sendiri tak menyukainya tapi, ini mungkin jalan yang terbaik. Aku tak ingin menyakiti Anggi lebih dari ini.

---
           
            Satu tahun setelah perceraianku dengan Anggi, aku masih setia menduda. Sedangkan Anggi dalam waktu dekat akan melangsungkan pernikahannya yang kedua. Sepertinya Jamie---sahabat lamaku---berhasil membuat Anggi jatuh cinta lagi.

“Lo gila apa? Lo mau cerai sama Anggi, tapi, lo nyuruh gue buat Anggi jatuh cinta lagi sama gue dan bahagiain dia? Sinting!” seru Jamie berapi-api. Memang terdengar gila. Sejak aku memutuskan untuk bercerai dengan Anggi. Aku meminta pada Jamie untuk menggantikan posisiku. Memang terkadang cinta membuat logika dan hati tak lagi sejalan.

Please, Jam! Cuma lo satu-satunya orang yang gue percaya, gue yakin lo pasti bisa buat Anggi jatuh cinta lagi. Buat dia bahagia demi gue.” Aku menatap tajam ke arah Jamie, pandanganku berusaha meyakinkanya. Jamie tampak menghela napas.

“Apa lo yakin?

Aku menunduk. Pertanyaan Jamie kembali mengobrak-abrik pikiranku. Aku kembali bertanya pada diriku sendiri. Apa mungkin hati ini tak hancur berkeping saat melihat Jamie bersanding dengan Anggi nanti? Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan.
“Satu hal yang nggak sangup gue lihat, saat Anggi nggak bahagia dalam hidupnya”

---
            Waktu itu, tanpa sepengetahuan Anggi aku datang ke sebuah klinik untuk berkonsultasi dengan seorang dokter. Kemudian dokter menyarankanku untuk melakukan serangkaian tes yang cukup rumit. Seminggu setelahnya, di saat jam istirahat kantor kusempatkan datang ke klinik itu lagi. Aku langsung menghampiri bagian adminitrasi untuk mengambil hasil tes minggu lalu. Seorang wanita dengan pakaian serba putih memberiku sebuah amplop.
Entah kenapa jantungku berdegup tak beraturan saat ku sobek amplop itu dan membaca isinya. Retina mataku membesar. Dadaku begitu sesak hampir pecah. Di dalam kertas itu tertulis bahwa aku di diagnosis infertilitas. Itu artinya sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa memberi keturunan. Detik itu juga darahku seperti berhenti berdesir. Tanganku bergetar hebat. Sejurus kemudian ada sesuatu yang mengalir hangat di pipiku. Kuremas kertas di tanganku kuat-kuat. Untuk pertama kalinya, aku menerima kenyataan yang begitu pahit.
            Kuputuskan untuk merahasiakan semua ini dari Anggi. Jadi, semua kekacauan ini sengaja aku buat. Pertengkaran itu, semua ketidaknyamanan yang terjadi, emosi Anggi yang sengaja aku sulut, semuanya telah aku rekayasa supaya Anggi bersedia untuk dicerai.
            Angin malam begitu dingin menyisir kulit. Kujejalkan kedua tanganku ke dalam jaket. Kusumpal telingaku dengan earphone.

“Usailah cerita, lelaki dan cinta
Terkunci pintu sampai akhir
Biar sepi memagut
Dan luka kubalut
Hari ke hari
Bahagia tanpamu

Biar hampa merayu
Sendiri berlalu
Hari ke hari
Bahagia tanpamu…”


Sebuah lagu yang menggambarkan isi hati kuputar dengan volume maksimal. Aku berjalan menembus pekatnya malam, berusaha mencari jalan pulang dalam kesendirian. "Semoga dengan berakhirnya lagu ini. Aku bisa melupakanmu. Anggi."


Pernah diikutsertakan pada "Project tentang kita." yang di adakan oleh @RedCarra

5 komentar:

RedCarra mengatakan...

Oalah. Pantesan kayak pernah baca cerita begini :))))

vanda kemala mengatakan...

sediiiiiiihhhhh... :'(

Artanto mengatakan...

RedCarra : hahaha...

vanda : iyaaaaa..... hik...:'(

Artanto mengatakan...

RedCarra : hahaha...

vanda : iyaaaaa..... hik...:'(

Unknown mengatakan...

Sedih banget to smpe w ketwa

Posting Komentar

 
;