Hampir
tengah malam. Aku duduk tercenung di antara kegelapan. Sesekali mataku mengerjap-ngerjap
menghalau rasa kantuk yang terus mendera. Sudah selarut ini suami mana yang
masih terjaga, rela menunggu sang istri tercinta yang belum pulang. Aku terkesiap,
terdengar derikan seperti pintu yang sengajadi buka secara perlahan. Kemudian
diiringi suara langkah kaki yang samar-samar semakin mendekat.
“Hah…!!!”
Sekarang giliran dia
yang terperanjat—Anggi, istriku yang sangat aku cintai. Anggi masih mengatur
degup jantungnya yang tak beraturan lantaran masih kaget karna lampu di ruang
tamu aku nyalakan secara tiba-tiba. Sepertinya dia sangat lelah. Wajahnya yang
biasa dipoles make up tak lagi
terlihat menawan. Rambutnya yang biasa tergerai indah kini terlihat kusut.
Sepatu hak tinggi yang biasa dia pakai kini sudah ia tenteng. Dengan baju
kantor yang masih melekat di tubuhnya Anggi terlihat sangat berantakan.
“Ngg…belum tidur, sayang?”
Tanyanya sambil tersenyum. Senyum yang menurutku terlalu dipaksakan. Terlihat
Anggi masih berusaha menghilangkan keterkejutannya. Aku bergeming.
“Dari mana aja, jam
segini baru pulang? Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya.
Kataku tanpa beranjak dari tempat aku berdiri.
“Biasa, aku ketemu sama
klien!”
“Oh…” jawabku sinis.
“Kamu ini kenapa sih,
belakangan kok aneh banget. Kayak nggak tau pekerjaanku aja.” Kini nada bicara
Anggi mulai meninggi.
“Yah, bisa aja kamu
bilang ketemu sama klien padahal asik pergi sama cowok lain, mana aku tau.”
Mataku terbelalak. Napasku tercekat. Pipiku terasa seperti
terbakar. Telapak tangan Anggi mendarat sangat keras di wajahku. Aku terdiam. Kulihat
wajahnya memerah. Darah dalam tubuhnya seperti mendidih. Sekilas kulihat
kelopak matanya mulai berembun. Beberapa detik, ada keheningan yang mencekik
kami berdua.
“Aku nggak serendah
yang kamu kira!”
Kemudian dia berbalik.
Berjalan cepat setengah berlari ke arah pintu. Ingin sekali aku mengerjarnya.
Berlutut dihadapannya, memohon maaf atas perkataanku tadi. Tapi, tubuh ini
seperti mematung. Aku bersandar pada dinding. Tubuhku lemas dihantam penyesalan.
Aku terduduk di lantai, membenamkan wajah dan meringkuk memeluk lututku
sendiri.
Aku benci situasi seperti ini. Ingin rasanya tanah ini
merekah lalu menelanku hidup-hidup. Lelaki macam apa aku ini? Yang tega
menyakiti, membuat istrinya sendiri terluka. Memang beberapa bulan belakangn
ini rumah tangga kami kurang harmonis.
---
Sejak pertengkaran hebat malam itu, Anggi sudah tak
tinggal satu atap lagi denganku. Ia memilih tinggal bersama kedua orang tuanya.
Kupikir kami memang perlu menyendiri untuk sementara. Merenungkan apa yang
seharusnya dilakukan dengan hubungan rumah tangga yang mulai tak sehat ini.
Dipertahankan atau… ah, aku tak sanggup menyebut kata itu.
Bukankah pada saat seorang pria dan wanita saling
mengikat janji suci yang di namai pernikahan, itu sudah membentuk suatu
keluarga yang utuh? Utuh? Tapi tidak lengkap tanpa kehadiran seorang anak! Tapi,
belum dikaruniai seoarang anak dalam pernikahan, seharusnya tidak menjadi
alasan berkurangnya kebahagiaan, bukan? Lantas apa yang salah? Pertanyaan itu
terus berkecamuk dalam kepalaku. Aku menghela napas sambil memandangi
langit-langit kamar.
Mungkin ini akar dari
permasalahkanku dengan Anggi. Anak. Setiap pasangan yang menikah pasti berharap
segera mendapatkan momongan. Tapi, sudah hampir tiga tahun dari usia pernikahan
kami belum ada tangis bayi yang menghiasi rumah tanggaku dengan Anggi. Aku tahu
Anggi sangat mendambakan seorang anak. Terlebih ibu dan mertuaku juga sudah sangat
ingin menimang cucu. Anggi pun merasa bersalah karna belum bisa memberiku
seorang anak. Aku pun tidak bisa serta merta menumpahkan semua kesalahan
kepadanya.
---
Siang
itu aku dan Anggi duduk satu meja di sebuah kafe, kami saling berhadapan. Aku
dan Anggi sama-sama tenggelam dalam diam. Ada semacam keheningan yang
menyelimuti kami berdua. Pikiran kami sama-sama menggeliat di dalam benak yang
terlampau padat. Tanpa aku sadari, untuk pertama kalinya aku tak sanggup
menatap wajahnya.
“Mau sampai kapan
seperti ini?” aku terkesiap akhirnya Anggi bersuara, memulai pembicaraan, mencairkan
suasana yang hampir beku.
“Aku rasa kamu udah
tau, kenapa aku menyuruhmu ke sini.” Ada jeda sejenak di sini, Anggi berusaha
berbicara dengan susah payah. “Aku udah lelah dengan semua ini. Sikapmu,
tekanan dari orang tuamu, aku nggak kuat, mas.”
Mata Anggi menatapku
tajam. Wajahnya terlihat pilu. Entah seberapa berat kesedihan yang menekannya.
Aku masih membisu menunggu kelanjutan perkataan Anggi. Saat itu juga ingin
rasanya aku memeluknya, menenangkannya mengatakan semua ini akan baik-baik saja.
“Aku nggak bisa kayak
gini terus, mas.”
Dari nada bicaranya
yang rendah, aku tahu pembicaraan ini akan menjurus kemana. Aku binggung harus
menanggapi seperti apa. Pernyataan Anggi barusan menyiratkan kalau dia sudah
tak nyaman lagi menjadi istriku.
“Kamu mau kita pisah.”
Jawabku lirih menahan rasa sesak di dada. Lidahku mendadak pahit saat ku ucap
kata ‘pisah’. Entah kenapa ada rasa nyeri yang menelusup setelah mengucapkan
kata itu. Tak pernah sekalipun terbesit dalam benakku, menjalani hari-hari
tanpa kehadiran Anggi, tanpa senyumnya, tanpa cintanya. Perpisahan? Mungkin itu
jawabannya. Walau aku sendiri tak menyukainya tapi, ini mungkin jalan yang
terbaik. Aku tak ingin menyakiti Anggi lebih dari ini.
---
Satu tahun setelah perceraianku dengan Anggi, aku masih
setia menduda. Sedangkan Anggi dalam waktu dekat akan melangsungkan
pernikahannya yang kedua. Sepertinya Jamie---sahabat lamaku---berhasil membuat
Anggi jatuh cinta lagi.
“Lo gila apa? Lo mau
cerai sama Anggi, tapi, lo nyuruh gue buat Anggi jatuh cinta lagi sama gue dan
bahagiain dia? Sinting!” seru Jamie berapi-api. Memang terdengar gila. Sejak
aku memutuskan untuk bercerai dengan Anggi. Aku meminta pada Jamie untuk
menggantikan posisiku. Memang terkadang cinta membuat logika dan hati tak lagi
sejalan.
“Please, Jam! Cuma lo satu-satunya orang yang gue percaya, gue yakin
lo pasti bisa buat Anggi jatuh cinta lagi. Buat dia bahagia demi gue.” Aku
menatap tajam ke arah Jamie, pandanganku berusaha meyakinkanya. Jamie tampak
menghela napas.
“Apa lo yakin?
Aku menunduk.
Pertanyaan Jamie kembali mengobrak-abrik pikiranku. Aku kembali bertanya pada
diriku sendiri. Apa mungkin hati ini tak hancur berkeping saat melihat Jamie
bersanding dengan Anggi nanti? Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya
perlahan.
“Satu hal yang nggak
sangup gue lihat, saat Anggi nggak bahagia dalam hidupnya”
---
Waktu itu, tanpa sepengetahuan Anggi aku datang ke sebuah
klinik untuk berkonsultasi dengan seorang dokter. Kemudian dokter menyarankanku
untuk melakukan serangkaian tes yang cukup rumit. Seminggu setelahnya, di saat jam
istirahat kantor kusempatkan datang ke klinik itu lagi. Aku langsung
menghampiri bagian adminitrasi untuk mengambil hasil tes minggu lalu. Seorang
wanita dengan pakaian serba putih memberiku sebuah amplop.
Entah kenapa jantungku
berdegup tak beraturan saat ku sobek amplop itu dan membaca isinya. Retina
mataku membesar. Dadaku begitu sesak hampir pecah. Di dalam kertas itu tertulis
bahwa aku di diagnosis infertilitas. Itu artinya sampai kapan pun aku tak akan
pernah bisa memberi keturunan. Detik itu juga darahku seperti berhenti
berdesir. Tanganku bergetar hebat. Sejurus kemudian ada sesuatu yang mengalir
hangat di pipiku. Kuremas kertas di tanganku kuat-kuat. Untuk pertama kalinya,
aku menerima kenyataan yang begitu pahit.
Kuputuskan untuk merahasiakan semua ini dari Anggi. Jadi,
semua kekacauan ini sengaja aku buat. Pertengkaran itu, semua ketidaknyamanan
yang terjadi, emosi Anggi yang sengaja aku sulut, semuanya telah aku rekayasa
supaya Anggi bersedia untuk dicerai.
Angin malam begitu dingin menyisir kulit. Kujejalkan
kedua tanganku ke dalam jaket. Kusumpal telingaku dengan earphone.
“Usailah
cerita, lelaki dan cinta
Terkunci
pintu sampai akhir
Biar
sepi memagut
Dan
luka kubalut
Hari
ke hari
Bahagia
tanpamu
Biar
hampa merayu
Sendiri
berlalu
Hari
ke hari
Bahagia
tanpamu…”
Sebuah lagu yang
menggambarkan isi hati kuputar dengan volume maksimal. Aku berjalan menembus
pekatnya malam, berusaha mencari jalan pulang dalam kesendirian. "Semoga dengan
berakhirnya lagu ini. Aku bisa melupakanmu. Anggi."
Pernah diikutsertakan pada "Project tentang kita." yang di adakan oleh @RedCarra
5 komentar:
Oalah. Pantesan kayak pernah baca cerita begini :))))
sediiiiiiihhhhh... :'(
RedCarra : hahaha...
vanda : iyaaaaa..... hik...:'(
RedCarra : hahaha...
vanda : iyaaaaa..... hik...:'(
Sedih banget to smpe w ketwa
Posting Komentar